Pelatihan yang diberikan menekankan pentingnya pola pikir bertumbuh dan mentalitas pantang menyerah dua hal penting yang sering kali menjadi pembeda antara sukses dan kegagalan.
Namun, di balik semangat itu, tantangan tetap nyata. Banyak peserta datang dari latar belakang ekonomi yang sulit. Ada pula yang terhenti pendidikannya karena alasan budaya, seperti pernikahan dini atau anggapan bahwa sekolah tidak berdampak langsung terhadap penghasilan. Untuk itu, program ini mencoba menjadi jembatan bukan hanya memberikan keterampilan teknis, tetapi juga menyentuh sisi emosional dan sosial para pemuda.
Pendidikan non-formal menjadi jalur yang ditawarkan sebagai solusi. Di sinilah pentingnya pendekatan inklusif pembelajaran tak harus berlangsung di ruang kelas, melainkan bisa hadir dalam bentuk kursus, pelatihan, dan lokakarya. Seiring berkembangnya dunia digital, integrasi teknologi dalam pembelajaran juga menjadi sorotan. Peserta diajarkan pemasaran digital, analisis data, dan keterampilan modern lainnya agar siap menghadapi dunia kerja yang terus berubah.
Yang menarik, pelatihan ini juga mengakar pada konteks local, misalnya, peserta dilatih keterampilan yang relevan dengan potensi daerah seperti kerajinan kain tradisional “gebeng”, agro-teknologi, kelautan, hingga pariwisata. Dengan begitu, hasil pelatihan benar-benar bisa menjadi kontribusi nyata bagi ekonomi lokal.
Tak kalah penting, keberhasilan program ini bertumpu pada sinergi. Pemerintah, industri, dan lembaga pelatihan perlu bekerja bersama, dari penyediaan alat praktik, pengembangan kurikulum, hingga insentif bagi perusahaan yang terlibat. Kolaborasi ini bukan sekadar formalitas, melainkan jantung dari gerakan transformasi pendidikan vokasi.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)