Sementara itu, Prof. Bülent Şenay dari Bursa Uludağ University menyampaikan perspektif teologis dalam penyelesaian konflik global. Ia menyoroti bahwa konflik di Gaza bukan sekadar konflik biasa, melainkan genosida yang melibatkan kekuatan besar. Dalam pemaparannya, ia merujuk pada konsep Amalek dalam sejarah dan menekankan bahwa ketidakadilan terhadap rakyat sipil bukan hanya isu politik, tetapi juga isu moral dan kemanusiaan. Ia juga mengaitkan prinsip-prinsip dalam Al-Qur’an, seperti konsep Taaruf (perkenalan dan pemahaman antarbudaya), Taamun (kerja sama dalam kebaikan), serta Tadafu/Mudafaa (pembelaan terhadap keadilan) sebagai pendekatan dalam resolusi konflik. Ia mengutip penyair terkenal Turki, Cahit Sıtkı Tarancı, dengan puisinya Memleket İsterim, yang menyoroti pentingnya kesetaraan dan keadilan dalam masyarakat.
Prof. Muhammad Nasir Badu dari Hasanuddin University, yang menjadi pembicara terakhir, menyoroti kondisi terkini Indonesia dan berbagai tantangan global yang sedang dihadapi. Namun, yang menarik dalam sesi ini adalah keputusannya untuk menyerahkan 15 menit dari waktu berbicaranya kepada Prof. Bülent Şenay, karena ia merasa bahwa perspektif yang disampaikan oleh akademisi dari Bursa Uludağ University tersebut sangat luar biasa dan memberikan wawasan baru dalam penyelesaian konflik global.
Simposium ini menjadi ajang penting untuk memahami peran strategis Indonesia dalam diplomasi global serta bagaimana perspektif agama, budaya, dan kebijakan sosial dapat diterapkan dalam menyelesaikan konflik internasional. Adanya keterlibatan berbagai akademisi dan diplomat, simposium ini menegaskan bahwa Indonesia terus berperan aktif dalam upaya penyelesaian konflik, baik melalui jalur diplomasi, ekonomi, maupun pendekatan teologis. Harapannya, melalui diskusi seperti ini, semakin banyak akademisi dan pemimpin yang dapat berkontribusi dalam membangun dunia yang lebih damai dan berkelanjutan.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)