Dalam paparannya, Anna menekankan bahwa resiliensi bukan hanya soal kemampuan bertahan, tetapi juga kemampuan mengenali batas diri.
“Kalau dulu tangguh diartikan sebagai ‘tahan banting’, sekarang menjadi seseorang yang tangguh juga berarti tahu kapan waktunya istirahat dan kapan harus berkata ‘tidak’," ucap Anna.
Ia menambahkan, ada lima kunci utama seseorang bisa dikatakan adalah pribadi yang tangguh, yaitu terampil dalam mengatasi masalah, memiliki sumber daya yang cukup, berani meminta bantuan, mampu menemukan solusi, dan menggabungkan keterampilan serta kekuatan diri untuk merespons tantangan.
Lebih lanjut, Anna juga menyoroti tren kesehatan mental remaja yang semakin kompleks di era digital. Tekanan sosial, akademik, dan akses informasi yang terlalu luas sering kali menambah risiko gangguan kesehatan mental.
Kondisi ini bukan hanya menghambat aktivitas harian, tetapi juga dapat menghalangi remaja dalam menemukan identitas diri dan menentukan lingkungan sosial yang tepat.
Di sisi lain, Anna juga menjelaskan bahwa salah satu keterampilan penting yang harus dimiliki oleh remaja adalah kemampuan untuk membedakan antara escaping dan resilience. Remaja perlu belajar bahwa istirahat bukan berarti lari dari masalah, tetapi merupakan bagian dari proses untuk bangkit dengan kekuatan baru.
“Masalah kesehatan mental ini memerlukan intervensi agar dapat diatasi secara tuntas. Menunda pekerjaan karena takut atau merasa tidak mampu adalah tanda escaping," tuturnya.
Namun, imbuhnya, jika seseorang memutuskan untuk istirahat demi memulihkan energi dan kemudian bangkit kembali, itulah yang disebut resiliensi. Dengan demikian, remaja harus memahami bahwa ketangguhan tidak selalu berarti terus produktif, tetapi juga berarti bijak dalam mengenali dan menghormati batas diri.
Tantangan dan Perspektif Orang Tua di Era Digital