Dari perspektif sebagai orang tua yang memiliki remaja, Susana Ang melihat fenomena yang terjadi saat ini memang memberikan kemudahan untuk anak bisa peka terhadap kondisi mental yang dialaminya.
Namun, informasi yang terlalu luas tanpa tahu kebenarannya juga dapat menjadi ancaman bagi remaja untuk melakukan ‘self-diagnosis’ dan membuat stigma atas dirinya sendiri.
“Teknologi memang memberikan kemudahan, tapi juga tantangan. Informasi yang terlalu banyak dan bertubi-tubi membuat anak-anak merasa bingung dan kewalahan, apalagi jika informasi tersebut tidak sepenuhnya benar," ujar Susana.
Ia membeberkan, fenomena self-diagnosis menjadi salah satu isu yang mencuat seiring dengan meningkatnya literasi mental di kalangan remaja. Sekarang banyak remaja yang sudah peka dan sadar tentang kesehatan mental, tapi ini juga bisa berbahaya kalau tidak diimbangi dengan pemahaman yang benar.
Menurutnya, sebagai orang tua, penting untuk melakukan pendampingan serta membangun hubungan yang sehat dengan anak remaja. Tidak hanya mendengarkan keluhan mereka, tetapi juga memberikan dukungan dan validasi emosi.
“Kita perlu belajar mendengarkan dan tidak langsung menghakimi anak. Kadang, mereka hanya ingin didengar tanpa perlu solusi instan. Penting juga bagi orang tua untuk tidak ragu meminta bantuan psikolog jika dibutuhkan,” katanya.
Perspektif Gen-Z: Kritis dan Cerdas
Hadir sebagai perwakilan perspektif Gen-Z, Angely M. Putri menyoroti betapa pentingnya validasi emosi dalam menjaga kesehatan mental dan ketangguhan.