“Terkadang, kami hanya ingin didengarkan dan dipahami. Tekanan dalam pendidikan seperti menyelesaikan skripsi bisa sangat berat, dan saat kami berhenti sejenak, itu bukan berarti menyerah. Kami hanya ingin berusaha maksimal ketika memulai kembali,” ujar Angely.
Ia juga menekankan bahwa komunitas dan lingkungan sosial yang suportif sangat membantu Gen-Z dalam membangun resiliensi. Menurutnya, generasi ini bukan hanya sekadar bertahan, tetapi juga berusaha menjadi lebih cerdas dengan bekerja secara efisien dan bijak.
“Kami tidak lagi fokus pada work hard, tapi work smart, bagaimana menghadapi tekanan tanpa mengorbankan kesehatan mental kami,” katanya.
Dengan pemahaman dan dukungan dari komunitas, Angely percaya bahwa remaja akan lebih mudah menemukan solusi dan tetap kuat dalam menghadapi tantangan.
Seminar ‘Thriving Not Just Surviving: Building Adolescent Resilience’ diharapkan dapat memberikan wawasan komprehensif kepada mahasiswa mengenai pentingnya ketangguhan dan kesehatan mental bagi remaja, baik dari perspektif psikologis, orang tua, maupun pengalaman langsung Gen-Z.
Seminar ini menekankan bahwa resiliensi bukan hanya tentang bertahan, tetapi juga kemampuan untuk mengenali batas diri, bekerja cerdas, dan mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitar.
Dengan semakin kompleksnya tantangan di era digital, intervensi yang tepat dan komunitas yang suportif menjadi kunci penting dalam membantu remaja menghadapi tekanan.
UPH selalu berkomitmen untuk terus mendukung kesehatan mental dan kesejahteraan mahasiswanya melalui berbagai program dan layanan psikologis serta menciptakan lingkungan kampus yang peduli dan ramah bagi perkembangan pribadi dan akademik setiap individu.
UPH senantiasa berupaya menjadikan lulusannya menjadi mahasiswa yang takut akan Tuhan, unggul, dan berdampak di lingkungan sosial.
(Agustina Wulandari )