Seperti apa aturan dokter asing di Indonesia?
Undang-Undang nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan, membuka ruang bagi dokter asing bekerja di Indonesia. Secara rinci, praktik dokter asing itu diatur dalam Pasal 248 hingga Pasal 257.
Di situ dituliskan bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan asing lulusan luar negeri yang dapat melaksanakan praktik di Indonesia hanya berlaku untuk "tenaga medis spesialis dan subspesialis" serta tenaga kesehatan tingkat kompetensi tertentu setelah mengikuti evaluasi kompetensi.
Evaluasi kompetensi yang dimaksud meliputi: penilaian kelengkapan administrasi dan penilaian kemampuan praktik -yang dilakukan oleh menteri dengan melibatkan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, konsil, dan kolegium.
Dalam beberapa kesempatan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, mengatakan wacana mendatangkan dokter asing ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat.
Ia menyebut ada tiga masalah dalam penyediaan SDM kesehatan di Indonesia, yakni jumlah, distribusi, dan kualitas.
Jika memakai rujukan WHO, setiap negara idealnya memiliki rasio 1:1000. Artinya satu dokter melayani 1.000 penduduk.
Sementara, kata Budi Gunadi, rasio dokter umum di Indonesia baru 0,47 dari 1.000 penduduk -atau di bawah standar.
Apabila populasi Indonesia sebesar 280 juta, ujar Budi Gunadi, maka dibutuhkan 140.000 dokter lagi dan jika setahun lulusan fakultas kedokteran adalah 12.000, maka butuh 10 tahun untuk mencapai rasio itu.
Dia juga menyebut sekitar 500 puskesmas di Indonesia tidak memiliki dokter.
Selain itu, Indonesia disebut masih kekurangan sekitar 29.000 dokter spesialis, distribusinya pun mayoritas terpusat di Pulau Jawa.
Belum ada aturan turunannya
Pendiri sekaligus CEO lembaga kajian Central for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Saminarsih, mengatakan di negara-negara lain kehadiran dokter asing bukanlah sesuatu yang tabu.
Dokter asing atau yang berasal dari Indonesia bisa masuk maupun belajar di tempat lain sesuai aturan main yang berlaku di negara tersebut.
Tapi yang jadi masalah saat ini, menurut Diah, meskipun sudah ada UU yang membolehkan adanya dokter asing, namun belum ada aturan turunan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Aturan turunan itu mulai dari kompetensinya, akan berpraktik di mana, pengawasannya, termasuk kerahasiaan data pasien yang dipegang oleh dokter asing.
"Jadi ini yang menimbulkan begitu banyak sangkaan yang akhirnya menjadi polemik. Karena UU Kesehatan memang membolehkan, tapi peraturan pemerintahnya belum ada," ujar Diah Saminarsih.
"Sederhananya soal penguasaan bahasa, kalau tidak disyaratkan menguasai bahasa Indonesia, bagaimana berinteraksi dengan dokter, staf rumah sakit, bahkan pasien?"
"Kalau tidak bisa, akan banyak sekali salah tangkap (antara dokter dan pasien)."
Itu mengapa Diah meminta pemerintah membuka seluas-luasnya diskusi dengan berbagai pihak dalam menyusun peraturan pemerintah terkait dokter asing.
Sebab bagaimanapun, kata dia, nyawa pasien menjadi taruhannya.
Jangan sampai dokter asing yang didatangkan ke Indonesia memiliki rekam jejak tersangkut kasus pidana, ujar Diah.
"Jadi jangan dilepas begitu saja, bahaya... ini menyangkut nyawa manusia loh."
Tapi lebih dari itu, menurutnya, pemerintah jangan terburu-buru mendatangkan dokter asing ke Indonesia tanpa membedah ulang soal distribusi dokter yang disebutnya "tidak merata".
Kalau bicara soal jumlah dokter, diakuinya memang kurang.
Mengutip data IDI total ada 226.190 dokter di Indonesia. Kalau jumlah penduduk Indonesia sekitar 275 juta dan -berdasarkan versi WHO satu dokter melayani 1.000 orang- maka Indonesia membutuhkan setidaknya 275.000 dokter.
Sedangkan saat ini dokter umum berjumlah 173.247 dan dokter spesialis 52.8843.
Dari total dokter yang ada, 160.000 di antaranya berada di wilayah Indonesia bagian barat.
Penyebaran yang timpang tersebut, ungkap Diah, disebabkan karena banyak dokter memilih untuk tidak kembali ke daerahnya setelah merampungkan pendidikan dan peralatan yang memadai kebanyakan ada di kota-kota besar.
"Karena pasien banyak ke kota besar dan peralatannya adanya di kota besar. Itu yang menyebabkan produksi dan distribusinya kurang serta tidak merata."
"Kalau misalnya dokter kembali ke daerahnya, utilitasnya jadi enggak benar, karena tidak ada alat. Si dokter spesialis jadinya mengerjakan hal di bawah kompetensinya. Itu yang terjadi sekarang."
Namun, menurutnya, kekurangan itu bisa diperbaiki jika distribusinya dibenahi.