Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Orasi Ilmiah Prof Komarudin Hidayat di Dies ke-27 Universitas Paramadina

Feby Novalius , Jurnalis-Jum'at, 10 Januari 2025 |18:09 WIB
Orasi Ilmiah Prof Komarudin Hidayat di Dies ke-27 Universitas Paramadina
Orasi Ilmiah Prof Komarudin Hidayat di Dies ke-27 Universitas Paramadina. (Foto: Okezone.com/Universitas Paramadina)
A
A
A
Jika Presiden Sukarno sering dijuluki sebagai pembangun bangsa (nation builder), Presiden Surhato yang diangkat oleh MPRS (Majlis Permusyawaratan Rakyat) 12 Maret 1967 ada yang menyebutnya sebagai Bapak Pembangunan. Ada juga yang menyebutnya “state builder” atau
pembangun negara. Secara de facto Pak Harto telah menjadi penguasa tertinggi sejak menggenggam Surat Perintah Sebelas Maret 1966 yang sampai sekarang dokumen aslinya masih misterius. 

Selama pemerintahannya Presiden Suharto sangat menekankan stabilitas, pembangunan infrastruktur pendidikan dan pertanian serta mengendalikan angka kelahiran agar terwujud kesejahteraan dan keamanan. Semua itu dituangkan dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negera). 

"Jika Bung Karno terobsesi dengan kesatuan dan kebesaran bangsa Indonesia, obsesi Pak Harto adalah stabilitas dan kesejahteraan rakyat dengan ongkos politik kekuatan oposisi mesti dipasung agar tidak merecoki jalannya pemerintahan. Partai politik disederhanakan
menjadi dua, PDI dan PPP, lalu Golongan Karya sebagai wadah ASN (Aparatur Sipil Negara) dan kaum teknokrat yang dibesarkan. Pak Harto memilih pembantunya dari kalangan teknokrat terbaik anak-anak bangsa," ujarnya. 

Setelah 31 tahun berkuasa, akhirnya pada 21 Mei 1998 Presiden Suharto mengundurkan diri karena tekanan publik. Pak Harto yang terobsesi dengan pembangunan ekonomi, justru di penghujung pemerintahannya Indonesia dilanda keterpurukan ekonomi. 

Di samping jasanya yang besar bagi pembangunan, kritik yang dialamatkan padanya seputar sikapnya yang otoriter, birokrasi yang korup, pelanggaran HAM dan ketidakmampuannya mengendalikan utang luar
negeri yang berdampak pada krisis ekonomi 1997-1998.

Di masa transisi, masa antara pengunduran Presiden Suharto (1998) dan terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudoyono (2004) merupakan masa transisi yang dikomandoi oleh tiga sosok presiden, yaitu: BJ Habibie (1998-1999), Abdurrahman Wahid (1999-2001), dan Megawati (2001-2004). Ketiganya dengan gaya dan jasanya masing-masing telah memuluskan jalan demokrasi dan perbaikan ekonomi yang memburuk di ujung pemetintahan Pak Harto. Habibie mengesahkan UU Multipartai, kebebasan pers dan kebebasan berserikat. 

"Gus Dur menciptakan iklim kebebasan beragama, membubarkan Departemen Penerangan, dan menetapkan Kong Hucu sebagai agama yang diakui dan dilindungi pemerintah. Lalu Megawati sebagai presiden perempuan pertama membentuk KPK, mengesahkan UU pemilihan umum secara langsung serta gencar melakukan pemberantasan terorisme," ujarnya. 


Pendeknya, ketiga sosok presiden itu akan dikenang sebagai negarawan yang melapangkan jalan demokrasi, kebebasan berekspresi dan pengembangan sumber daya manusia agar Indonesia bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain dalam pergaulan global baik dari sisi ekonomi maupun kebudayaan.

Kemudian di era pelembagaan Demokrasi. Susilo Bambang Yudoyono (SBY) yang menjadi presiden selama dua periode (2004-2014) melalui pemilihan langsung telah menorehkan catatan bagus tentang pendewasaan demokrasi dan stabilitas politik. Di samping menjaga pertumbuhan ekonomi dan mengurangi beban utang luar negeri, Presiden SBY berhasil meningkatkan citra Indonesia di panggung internasional. Pemilu tahun 2004 itu kebetulan saya menjadi Ketua Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu).
Sebuah pemilu yang diikuti sebanyak 24 partai politik yang berlangsung damai, tidak mengundang kekisruhan yang berarti. Perselisihan yang terjadi lebih banyak menyangkut persaingan antar sesama calon anggota legislative, baik persaingan calon antar parpol maupun
intra parpol dalam satu daerah pemilihan. 

"Namun untuk pencalonan presiden sosok SBY cukup menonjol sehingga tidak menimbulkan keterbelahan sosial yang tajam dalam masyarakat," ujarnya. 


Produk Demokrasi Par Excellence, kemunculan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden dua periode (2014-2024) sungguh merupakan produk demokrasi par excellence. Berkat jalan demokrasi yang dilapangkan oleh
Habibie, Gus Dur dan Megawati, Jokowi yang awalnya dikenal sebagai tukang kayu, oleh PDIP dipromosikan menjadi walikota Solo, setelahnya hijrah ke Jakarta untuk bertarung dan menang sebagai Gubernur DKI. 
"Seterusnya naik lagi memenangkan kontestasi presiden. Ini semua dimungkinkan karena dan oleh sistim demokrasi yang dihasilkan oleh gerakan reformasi yang mengakhiri era orde baru," ujarnya.  


Tanpa jejak rekam sebagai aktivis intelektual yang terlibat gerakan
reformasi dan tidak juga sebagai pimpinan teras partai politik, Jokowi yang diusung oleh PDIP tiba-tiba meroket di pentas politik nasional mengalahkan tokoh-tokoh politik yang sudah tinggi jam terbangnya. Dia sebagai ikon presiden produk reformasi menuju Indonesia setara. Bahwa siapapun anak bangsa berhak untuk menjadi presiden. Kemunculannya membawa angin segar dan energi baru untuk penguatan demokrasi. 

Agenda kerja yang menonjol adalah pembangunan infrastruktur dan jalan tol untuk melancarkan lalu-lintas ekonomi dan mobilitas penduduk. Salah satu warisan yang menonjol dan masih mengundang kontroversi adalah pemindahan ibukota negara ke IKN di Kalimantan Timur.

 

Halaman:
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita edukasi lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement