Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Pendidikan Berkualitas: Janji SDGs yang Masih Tertinggal di Indonesia

Tim Okezone , Jurnalis-Sabtu, 08 November 2025 |06:30 WIB
Pendidikan Berkualitas: Janji SDGs yang Masih Tertinggal di Indonesia
foto dok istimewa
A
A
A

Kurikulum Berganti, Mutu Tak Kunjung Naik

Selain faktor akses, inkonsistensi kebijakan pendidikan juga menjadi persoalan serius. Dalam satu dekade terakhir, Indonesia telah berganti beberapa kurikulum besar — mulai dari Kurikulum 2006 (KTSP), Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat saat pandemi, hingga Kurikulum Merdeka yang diterapkan secara bertahap.

Sayangnya, perubahan kurikulum yang kerap terjadi setiap kali berganti menteri membuat guru dan sekolah kesulitan beradaptasi. Banyak daerah tertinggal tidak mampu mengikuti pembaruan kebijakan dengan cepat. Alih-alih meningkatkan mutu, pergantian yang terlalu sering justru menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian arah belajar. Padahal, sistem pendidikan yang baik seharusnya memberikan kepastian dan kesinambungan dalam proses pembelajaran.

Membandingkan Sistem Zonasi di Indonesia dan Jepang

Kebijakan zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi salah satu upaya pemerintah untuk meratakan akses pendidikan. Namun, implementasinya di Indonesia masih menuai banyak perdebatan.

Sistem ini sebenarnya terinspirasi dari Jepang, negara dengan sistem pendidikan yang terkenal merata dan unggul. Di Jepang, zonasi hanya berlaku untuk jenjang SD dan SMP, sementara masuk SMA didasarkan pada prestasi. Meski demikian, pemerataan fasilitas dan kualitas guru di seluruh sekolah Jepang sudah sangat baik, sehingga sistem zonasi tidak menimbulkan kesenjangan mutu.

Hasilnya terlihat jelas: berdasarkan Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 yang diselenggarakan oleh OECD, skor matematika siswa Jepang mencapai 536 (peringkat ke-5 dunia), sedangkan Indonesia hanya memperoleh skor 388 (peringkat ke-69).

Di Indonesia, zonasi belum diiringi pemerataan mutu pendidikan yang memadai. Banyak pihak menilai kebijakan ini belum mampu menghapus “sekolah favorit”. Anggota DPR RI Abdul Fikri Faqih menilai, setelah tujuh tahun berjalan, zonasi masih menimbulkan masalah yang sama dari tahun ke tahun. Sementara itu, Ombudsman menilai sistem zonasi tetap penting untuk pemerataan, tetapi harus dibarengi dengan peningkatan fasilitas dan kualitas guru.

Hal ini menunjukkan bahwa zonasi tidak bisa berdiri sendiri. Tanpa perbaikan kualitas pengajaran, sarana belajar, dan koordinasi antarlembaga, zonasi hanya akan menjadi kebijakan administratif tanpa dampak nyata terhadap mutu pendidikan.

 

Halaman:
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita edukasi lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement