Secara visual, aksara Jawa dan Thai sama-sama berbentuk melengkung. Hal ini dipengaruhi media tulis pada masa lalu, yakni daun lontar atau daun palem, yang tidak memungkinkan banyak goresan lurus karena mudah merobek permukaan.
Selain itu, keduanya menggunakan prinsip abugida – setiap huruf konsonan mengandung vokal bawaan, sementara vokal lain ditambahkan melalui tanda diakritik. Misalnya, vokal ditulis di atas konsonan, sedangkan vokal u ditulis di bawah, baik dalam aksara Jawa maupun Thai.
Meski mirip, aksara Thai dan Jawa berkembang sesuai kebutuhan bahasanya masing-masing. Aksara Thai memiliki 44 konsonan dan 4 tanda nada untuk menyesuaikan dengan sistem nada bahasa Thai. Sementara itu, aksara Jawa tidak mengenal nada, tetapi memiliki sistem pasangan untuk menulis gugus konsonan serta aksara khusus seperti swara (huruf vokal independen).
Sejarawan Jan Wisseman Christie (1998) menulis bahwa masuknya Hindu-Buddha dari India Selatan membawa serta bahasa Sanskerta dan Pali ke Asia Tenggara. Agama dan teks keagamaan inilah yang menjadi jalur utama penyebaran aksara Pallawa. Menariknya, bahasa-bahasa India Selatan sendiri tidak ikut terbawa; yang berkembang adalah bahasa lokal Asia Tenggara yang dituliskan dengan huruf turunan Pallawa.
Huruf Thailand dan aksara Jawa tampak mirip karena keduanya “saudara jauh” yang sama-sama merupakan keturunan dari aksara Pallawa India. Mereka berkembang di wilayah berbeda, tetapi tetap menyimpan ciri khas warisan yang sama.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)