KEBOCORAN data, terutama informasi sensitif seperti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), merupakan isu serius yang dapat memicu krisis kepercayaan publik terhadap instansi pemerintahan.
Dalam situasi ini, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, harus menghadapi tantangan komunikasi yang kompleks untuk mengatasi dampak negatif dari kebocoran tersebut. Mengacu pada teori situasional publik (Situational Theory of Publics) yang dikemukakan oleh James E. Grunig, artikel ini menganalisis bagaimana Bareskrim RI menyesuaikan strategi komunikasinya dalam konteks krisis ini.
Identifikasi Publik: Membedakan Tingkat Ketertarikan dan Keterlibatan
Teori situasional publik mengelompokkan publik menjadi tiga kategori berdasarkan ketertarikan dan keterlibatan mereka: publik yang terlibat, publik yang tidak terlibat, dan publik yang terpengaruh. Dalam kasus kebocoran data NPWP, Bareskrim POLRI perlu mengidentifikasi siapa saja yang termasuk dalam ketiga kategori tersebut.
- Publik yang Terlibat: Masyarakat luas yang menggunakan NPWP untuk keperluan perpajakan dan hal-hal terkait keuangan. Mereka sangat terpengaruh dan memiliki ketertarikan tinggi terhadap bagaimana data mereka dikelola dan dilindungi.
- Publik yang Tidak Terlibat: Kelompok masyarakat yang tidak langsung merasakan dampak, seperti individu yang tidak memiliki NPWP. Mereka mungkin tidak terlalu peduli, tetapi perlu dibina melalui edukasi untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya keamanan data.