JAKARTA - Media sosial semakin digandrungi oleh semua kalangan. Siapapun dengan mudah menyebarkan informasi dalam bentuk konten untuk bisa dinikmati oleh publik.
Namun begitu, membuat konten di media sosial tak bisa sembarangan. Sama seperti jurnalis yang membuat berita, Yadi Hendriana selaku Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers mengatakan konten kreator pun perlu memikirkan dampak konten yang dibuat.
"Mau konten kreator, jurnalis atau siapapun dia menghasilkan karya yang harus dipikirkan itu dampaknya seperti apa terhadap publik," kata Yadi Hendriana dalam Okezone Goes to Campus di Universitas Bakrie, Kamis (22/6/2023).
BACA JUGA:
Dari konten atau berita yang dibuat, publik akan merasakan bagaimana dampaknya untuk mereka. Ketika sebuah informasi yang disiarkan oleh media mainstream maupun media sosial dirasa tidak benar, berpotensi fitnah, atau bahkan menyinggun, bukan tidak mungkin akan diadukan ke instrumen hukum yang berlaku.
Bicara soal instrumen hukum, media mainstream dan media sosial memiliki perbedaan mencolok."Bedanya, dari instrumen hukumnya, kalau media mainstream Undang Undang Pers No 40 tahun 1999 berupa kode etik jurnalistik," ujar Yadi.
BACA JUGA:
Jika media mainstream diikat oleh Undang-Undang Pers sehingga dapat diadukan kepada Dewan Pers, lain halnya dengan konten kreator di media sosial. Saat ada yang tak terima atas informasi yang disebarkan, pembuat konten langsung berhadapan dengan pihak kepolisian.
"Kalau sendainya saja bukan karya jurnalistik, instrumen hukumnya itu pidana, ITE, non etik regulasi. Kalau bermain di sosial media, pasti kalau ada yang melaporkan bahwa itu hate speech, fitnah, hoax dan lain-lain, itu tidak ke Dewan Pers melainkan ke kepolisian, masuknya ke KUHP atau ITE," lanjut Yadi.