"Apakah misalnya ada pelajaran-pelajaran yang dia takuti, apakah dia mengalami bully, apakah misalnya dia di rumah terlalu di-protect lalu dimanjain jadinya kurang mandiri sehingga ada di sekolah sendiri itu tidak menyenangkan buat dia. Kita harus lihat lagi alasannya kenapa," kata dia.
Rosdiana mengatakan jika rutinitas harian seperti waktu bangun tidur, makan, dan durasi istirahat tidak berubah signifikan selama masa liburan, seharusnya anak akan tetap baik-baik saja ketika masa liburan berakhir.
Dalam kasus yang kerap Rosdiana temui, terkadang beberapa anak justru kurang mendapatkan istirahat yang cukup selama liburan karena memiliki tuntutan untuk tetap belajar atau mengikuti les tertentu.
Hal ini bisa saja membuat anak merasa enggan untuk kembali ke sekolah setelah liburan.
"Kalau mereka ada les dan lesnya itu melelahkan secara fisik, dan liburannya itu lelah secara fisik misalnya hiking, ada baiknya saat seminggu pertama mereka sekolah, nggak usah les dulu. Jadi supaya badannya adjust dulu," ujar dia.
Anak juga bisa saja mengalami post-vacation blues. Akan tetapi, menurut Rosdiana, post-vacation blues biasanya akan hilang seiring dengan kembalinya rutinitas sehari-hari.
Namun post-vacation blues biasanya terjadi karena masa liburan yang terlalu panjang hingga beberapa bulan.
Jika kondisi post-vacation blues terus menetap pada anak, orang tua diminta untuk merefleksikan kembali kondisi anak selama liburan berlangsung, apakah anak menikmati masa liburan atau justru merasa anxiety hingga depresi selama liburan.