BOGOR - Tim peneliti IPB University berhasil menciptakan satu teknologi budidaya udang secara presisi yang mampu meningkatkan produktivitas hasil panen. Dengan mengkombinasikan sistem budidaya Recirculating Aquaculture System (RAS) dan Bioflok, teknologi ini mampu menghasilkan hingga 130 ton udang dalam satu hektar.
“Yang kita ujicobakan adalah budidaya udang dengan tidak banyak mengganti air laut, dengan sistem resirkulasi. Karenanya sisa pakan dan kotoran udang harus dikonversi menjadi bahan yang tidak menghasilkan racun,” ungkap Ketua Tim Peneliti, Prof Bambang Widigdo saat dimintai keterangan, 18/1.
Ia melanjutkan, resirkulasi yang dilakukan tidak boleh menjadikan flok banyak berkurang. Sebab, flok atau agregat sisa pakan, bakteri, protozoa dan zooplankton dapat digunakan sebagai tambahan makanan serta untuk mengasimilasi gas beracun menjadi tidak beracun.
Prof Bambang Widigdo menjelaskan, teknologi budidaya udang ini dilakukan di dalam suatu greenhouse, dimana berbagai parameter seperti suhu dan salinitas dapat dikondisikan. Hal itu bertujuan agar kualitas hasil panen mampu terjaga dengan baik. Selain itu, budidaya udang dengan greenhouse juga dapat mengefisienkan penggunaan air.
“Dengan kualitas air terjaga, climate bisa tereliminasi dari perubahan suhu yang naik turun, kondisi optimal bisa dicapai. Sehingga pertumbuhannya bisa lebih cepat. Karena semua parameter bisa dieliminasi dengan biosecurity secara penuh, dalam satu meter persegi dapat ditebar 300 hingga 500 ekor udang,” ujarnya.
Ia melanjutkan, budidaya dengan teknologi ini, berpotensi secara kontinu bisa menghasilkan enam sampai sembilan kilogram per kubik. Bahkan jika dilakukan panen secara parsial, potensinya bisa 100-130 ton per hektar.
Panen parsial dilakukan dalam beberapa kali tahapan. Yaitu dalam 65 hari, 75 hari, 85 hari, 105 hari dan 120 hari. Dimana setiap kali panen berkisar antara 15-20 persen dari populasi.
“Jika diakumulasikan, per kubik bisa mencapai 10 sampai 13 kilogram. Artinya kalau dihektarkan bisa 100 sampai 130 ton per hektar. Sementara jika budidaya konvensional, paling tinggi hanya mencapai 40-68 ton per hektar,” terangnya.