Setiap tempat mendapatkan alokasi waktu 45 menit, jadi dalam waktu 1,5 jam, siswa bisa merasakan seluruh keseruan belajar budaya Indonesia di KBRI. Staf kantor Atdikbud dibantu oleh mahasiswa program Praktik Keterampilan Mengajar (PKM) Internasional dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) untuk memberikan materi pembelajaran.
Para siswa tampak aktif mengikuti semua kegiatan. Saat tur balai budaya, salah satu materi yang disampaikan oleh staf Atdikbud, Witari Nurfadillah, adalah tentang wayang kulit. Siswa terpilih berkesempatan untuk dapat memainkan wayang tersebut didampingi oleh staf Atdikbud yang lain, Muhammad Nur Aziz. Karena keterbatasan waktu, tidak semua siswa bisa mencoba memainkan wayang. Kekecewaan mereka terobati setelah di sesi berikutnya, mereka semua bisa mencoba memainkan alat musik gamelan.
Di ruangan berbeda, siswa lain sedang mengikuti workshop tari tradisional dan belajar lagu anak-anak. Mahasiswa UPI, Ivena, dan mahasiswa UNJ, Kiki, mengajarkan siswa tari Ronggeng Nyentrik dari Jawa Barat. Saat belajar menari, siswa dipasangkan kain sampur di pinggang sebagai alat bantu menari. Meskipun hanya belajar lima gerakan, tak hanya siswa, para guru pendamping pun turut mengikuti dengan gembira. Ivena dan Kiki dibantu empat rekannya yang lain yaitu Rayhan, Hani, Dara, dan Keisha.
Sementara untuk belajar menyanyi, Rayhan (UPI) dan Dara (UNJ) yang menjadi mentornya. Siswa dikenalkan dengan dua lagu, yaitu Ge Mu Fa Mi Re, dari wilayah timur Indonesia, dan lagu anak Pelangi. Dari lagu-lagu tersebut, siswa juga diajarkan beberapa gerakan yang sesuai dengan lirik, dan warna-warna pelangi.
Guru pendamping lainnya, Jena, merupakan lulusan SD Australia yang memiliki program bahasa Indonesia. Ketika mendengarkan penjelasan Dara dan Rayhan tentang warna-warna Pelangi, mengingatkan kembali memori masa kecilnya saat sedang belajar bahasa Indonesia.
“Saya sangat senang hari ini, karena Ketika anak-anak tadi belajar warna saya pun ikut belajar kembali, seperti dulu saat di sekolah dasar dalam Pelajaran bahasa Indonesia,” katanya.
Salah satu siswa, Abigail, mengatakan bahwa ia senang sekali bisa ke KBRI. Bahkan, sebelum pulang ia menyatakan akan kembali lagi ke KBRI bersama orang tuanya untuk bermain gamelan. Ngunawal Primary School merupakan sekolah yang tidak memiliki program bahasa Indonesia. Namun Sebagian siswa dan guru sudah cukup familiar dengan Indonesia. Karena beberapa dari siswa dan guru sudah pernah berkunjung ke Bali.
Atdikbud KBRI Canberra, Mukhamad Najib, mengatakan bahwa KBRI senantiasa mendorong siswa dan guru di Australia untuk mengenal Indonesia. Program fasilitasi kunjungan siswa ke KBRI ini menjadi salah satu bentuk untuk pengenalan tersebut. Selain itu, kantor Atdikbud juga aktif di kegiatan Indonesia Goes to School, di mana pengenalan Indonesia dilakukan di lingkungan sekolah.
“Bahasa dan budaya Indonesia sudah cukup terkenal di Australia, apalagi ada banyak sekolah yang memiliki program bahasa Indonesia. Tapi itu tidak cukup. Makanya kami di KBRI selalu mendorong program semacam ini sebagai bentuk pengenalan bahasa dan budaya Indonesia di kalangan siswa dan pemuda Australia,” tuturnya.
KBRI Canberra masih menerima kunjungan sekolah sampai dengan akhir tahun. Setidaknya ada lima sekolah lagi yang sudah dijadwalkan berkunjung ke KBRI sampai Desember 2024.
(Taufik Fajar)