“Mereka berisiko lebih dini mengalami kelelahan emosional, sementara kemampuan pengelolaan pikirannya belum matang. Kombinasi ini berpotensi membuat anak terjebak dalam tekanan mental yang berat hingga berujung pada tindakan ekstrem,” jelasnya.
Lebih jauh, Nurul menyoroti sejumlah hambatan besar dalam mencegah depresi di kalangan generasi Alpha. Salah satu yang utama ialah rendahnya literasi kesehatan mental di masyarakat.
Banyak orangtua dan guru belum memahami tanda-tanda awal gangguan psikologis pada anak, sehingga intervensi dini sering kali tidak dilakukan hingga masalah mencapai fase krisis. Selain itu, jarak komunikasi antar generasi juga memperparah situasi.
“Kurangnya dialog yang empatik antara orangtua dan anak membuat proses pertolongan pertama psikologis tidak berjalan dengan baik,” paparnya.
Faktor lain yang memperburuk kondisi ialah minimnya literasi emosi dalam keluarga. Menurut Nurul, pengasuhan kini sering digantikan oleh media digital, menyebabkan anak kehilangan kesempatan belajar langsung mengenai cara mengekspresikan dan mengelola emosi secara sehat.
“Paparan dunia digital yang tidak terkontrol semakin memperparah kondisi ini karena anak-anak seringkali tidak memiliki filter dalam menyerap informasi atau membandingkan diri dengan orang lain di media sosial,” tambahnya.
(Rani Hardjanti)