JAKARTA – Korea Selatan menghadapi gelombang pengangguran dengan dominasi lulusan S1. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, jumlah lulusan sekolah menengah pertama yang memilih untuk tidak bekerja atau mencari pekerjaan melebihi jumlah lulusan perguruan tinggi.
Menurut data terbaru dari Statistik Korea dilansir dari Straits Times, Rabu (30/7/2025), ada 3,048 juta orang berusia 15 tahun ke atas dengan gelar sarjana atau lebih tinggi yang tidak bekerja atau mencari pekerjaan. Ini sedikit melampaui 3,03 juta orang yang hanya menerima SMP.
Angka ini sangat kontras dengan sepuluh tahun lalu, di mana kesenjangan antara kedua kelompok ini mencapai lebih dari satu juta orang dengan posisi sebaliknya. Pergeseran drastis ini mengindikasikan ketidakseimbangan yang semakin lebar dalam pasar kerja Korea Selatan. Negeri Ginseng ini memang dikenal memiliki salah satu tingkat pendaftaran universitas tertinggi di dunia, namun sayangnya, pasar kerja seolah tak mampu mengimbangi lonjakan lulusan ini.
Secara statistik, banyak sarjana "menganggur". Ada yang menunggu pekerjaan yang tidak muncul, mempersiapkan ujian penting, atau bahkan memilih untuk meninggalkan pasar tenaga kerja sama sekali. Mereka dikategorikan sebagai "non-ekonomi aktif" dalam statistik, yang berarti mereka tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan secara aktif.
Di balik angka-angka ini ada kenyataan bahwa industri perekrutan sangat ketat. Sebuah survei yang dilakukan oleh Federasi Perusahaan Korea pada tahun 2025 menemukan bahwa hanya 60,8% perusahaan besar berencana untuk merekrut karyawan baru tahun ini; ini adalah angka terendah sejak tahun 2022, menunjukkan bahwa peluang kerja semakin berkurang.
Pencari kerja berpendidikan tinggi cenderung mengincar industri bernilai tinggi seperti teknologi atau keuangan. Namun, pertumbuhan industri ini sedang melambat, memaksa banyak lulusan berada dalam ketidakpastian, terutama karena kurangnya pekerjaan entry-level.
Ironisnya, industri jasa Korea Selatan juga kurang optimistis. Menurut laporan Bank of Korea (BOK) bulan Juli, produktivitas tenaga kerja di layanan domestik, termasuk ritel dan IT, hanya akan mencapai 39,7% dari sektor manufaktur pada tahun 2024. Selama dua dekade terakhir, tingkat ini hampir tidak berubah.
Kesenjangan ini juga sangat lebar dibandingkan dengan negara lain. Dibandingkan dengan Amerika Serikat, produktivitas sektor jasa Korea Selatan hanya 51,1, menurut laporan BOK. Angka ini jauh di bawah rata-rata 59,9% yang ditetapkan oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Bahkan Jerman mencapai 59,2%, sementara Jepang mencapai 56%.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana sulit bagi Korea Selatan untuk menyelaraskan tujuan pendidikan tinggi dengan pasar kerjanya yang selalu berubah. Akankah sektor swasta dan pemerintah menemukan solusi untuk masalah ini?
(Kurniasih Miftakhul Jannah)