Salah satu hal yang sering menjadi perbandingan—selain fasilitas—adalah soal guru, Kurikulum Merdeka yang dirancang untuk memberikan keleluasaan bagi para guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran, menurut Totok, malah membuat kesenjangan antara sekolah negeri dan swasta semakin terlihat.
Guru-guru di sekolah negeri dinilai “tidak siap” untuk meningkatkan kompetensi secara mandiri, sementara sekolah swasta—mulai dari instansinya hingga guru-gurunya—“sudah terbiasa mandiri” dan cepat merespons perubahan untuk diterapkan dalam pembelajaran.
Totok mencontohkan, saat pandemi Covid-19 terjadi dia melihat guru-guru sekolah swasta “bergerak cepat”, menyesuaikan dan mengadaptasi teknologi yang diperlukan untuk memastikan proses belajar mengajar berjalan normal.
“Sementara di [sekolah] negeri menunggu instruksi, menunggu panduan. Jadi, beda modus, beda cara bekerjanya,” ujar Totok, seraya menyebut guru-guru di sekolah negeri “dibatasi regulasi”.
“Fleksibilitas” yang dimiliki sekolah swasta itulah yang dinilai Totok membuat mereka menjadi “lebih kreatif” ketika menghadapi kendala maupun hambatan.
“Bagaimana kita menghadapi berbagai perubahan, termasuk juga banyaknya mesin gim yang menjadi judi online, kemudian juga hal-hal yang mengandung kekerasan, diperagakan di media sosial secara vulgar. Nah, itu kan semuanya membutuhkan guru-guru yang sigap dan cerdas menghadapi perubahan,” ujarnya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)