Untuk menangani pengobatan dan perawatan kasus gigitan ular berbisa, kata Maharani, pihaknya akan membentuk poison center dan riset pengembangan anti venom.
Kemenkes juga sudah meluncurkan buku pedoman penanganan gigitan atau sengatan hewan berbisa serta keracunan tumbuhan dan jamur. Buku ini berisi soal tata laksana pada pertolongan pertama hingga penanganannya.
Di Puskesmas, pasien yang kena gigitan ular tidak diberi anti venom, tapi anticholinesterase. Setiap Puskesmas mendapatkan dua vial untuk diberikan kepada pasien yang memerlukan sebelum dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan anti venom atau bantuan ventilator.
“Tahun 2022 lalu kita sudah diberikan 10 ribu vial. Di Papua sudah habis, dari sebelumnya 100 persen kena kasus gigitan ular meninggal maka sekarang sudah turun menjadi 80 persen,” ujarnya.
Soal bagaimana cara agar terhindar dari gigitan ular, Maharani mengatakan agar jangan selalu percaya mitos bahwa menaburkan garam atau cairan pembersih bisa terhindar dari gigitan ular sebab secara ilmiah jelas tidak terbukti. Namun berdasarkan pedoman WHO, menggunakan kelambu saat tidur ternyata efektif bisa menghindari gigitan ular maupun nyamuk.
“Patut diberitahukan ke masyarakat tentang pentingnya menggunakan kelambu di saat tidur selain terhindar dari gigitan ular namun juga mencegah DBD,” katanya.
Seperti diketahui, ular adalah reptil yang tak berkaki dan bertubuh panjang dimana seluruh tubuh tertutup oleh lapisan kitin yang berbentuk sisik-sisik.
Ular tidak mempunyai daun telinga dan gendang telinga sehingga tidak ada keistimewaan pada ketajaman indera mata maupun telinga. Namun mata ular selalu terbuka dan dilapisi selaput tipis sehingga mudah melihat gerakan sekelilingnya tapi ia tidak dapat memfokuskan pandangannya.
“Ular baru dapat melihat dengan jelas dalam jarak dekat,” pungkasnya.
(Dani Jumadil Akhir)