JAKARTA - Rektor Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro mengukuhkan Sri Linuwih Susetyo Wardhani Menaldi sebagai Guru Besar dalam Bidang Dermatologi dan Venereologi, Fakultas Kedokteran (FK) UI. Sri dikukuhkan sebagai guru besar setelah menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Pelibatan Multipihak pada Tata Kelola Kusta di Indonesia dalam Mencapai Nihil Kusta 2030: Peran dan Kontribusi Pendidikan Dokter”.
Sri menyampaikan, Penyakit Tropis Terabaikan (PTT) atau Neglected Tropical Diseases (NTDs) merupakan sekelompok penyakit yang berada di daerah tropis dan subtropis. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO), terdapat 20 jenis penyakit yang digolongkan dalam PTT, delapan di antaranya berada di Indonesia. PTT yang terkait kulit ialah kusta dan frambusia.
Sri mengungkapkan, Indonesia merupakan negara dengan kasus kusta terbanyak ketiga di dunia. Pada 2022, kasus yang terdaftar berjumlah 15.052 dengan kasus baru sebanyak 12.095.
"Kusta merupakan penyakit infeksi kronis pada kulit dan saraf tepi yang diperkirakan sudah ada sejak 600 tahun Sebelum Masehi. Namun, penyebabnya kusta, yaitu Mycobacterium leprae (M. leprae), baru ditemukan 151 tahun yang lalu," ujarnya, Jumat (8/3/2024).
Pada 1982, WHO merekomendasikan paduan obat Rifampisin, Dapson, dan Clofazimine sebagai multidrug therapy untuk pengobatan kusta yang terbukti efektif. Meskipun penyebab kusta sudah diketahui dan obatnya telah tersedia, kusta belum dapat dimusnahkan sampai saat ini.
Bertepatan dengan World's NTDs Day yang tahun ini jatuh pada tanggal 28 Januari, Prof. Sri mengangkat topik kusta atau lepra sebagai salah satu PTT yang hingga kini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Sejalan dengan tema Hari Kusta tahun 2024 yang dicanangkan WHO yaitu “Beat Leprosy: Ending Stigma, Embracing Dignity” Indonesia menetapkan target nihil kusta pada tahun 2030.
Pada 2023, Kementerian Kesehatan RI melaporkan tujuh provinsi di Indonesia belum mencapai eliminasi kusta, yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
“Kendala dalam pencapaian eliminasi cukup banyak, salah satunya adanya stigma kusta, baik stigma diri maupun stigma sosial. Stigma dan diskriminasi terhadap kusta menyebabkan para penyandangnya tidak mendapatkan kesempatan belajar di sekolah, tidak mampu bekerja, atau tidak mendapatkan pekerjaan dan terlambat mendapat pengobatan sehingga memungkinkan terjadinya cacat dan disabilitas. Hal ini membuat mereka terjerat masalah ekonomi sehingga tidak mampu pergi ke layanan kesehatan, tidak mendapat obat, dan penularan akan terus berlangsung,” kata Prof. Sri.