Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Penelitian 3 Kampus Ungkap Penyebab Harga Obat Masih Mahal

Richard Ariyanto , Jurnalis-Jum'at, 27 Oktober 2023 |13:02 WIB
Penelitian 3 Kampus Ungkap Penyebab Harga Obat Masih Mahal
Penelitian ungkap harga obat dan kualitasnya (Foto: Freepik)
A
A
A

JAKARTA - Hampir 90 persen bahan baku obat di Indonesia masih impor. Karena itu harga obat di Indonesia cenderung mahal.

Sebuah studi terbaru dari Systematic Tracking of At-Risk Medicines (STARmeds), kolaborasi antara 3 kampus yakni Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Imperial College London, dan Erasmus University Rotterdam, menemukan bahwa mahalnya harga obat di Indonesia tidak selalu mencerminkan kualitasnya. Dari 1.274 sampel obat yang diteliti, sepertiga di antaranya memiliki harga yang 10 kali lipat lebih mahal dibandingkan produk sejenis yang paling murah, tetapi kualitasnya tetap sama.

Penelitian ini diluncurkan seiring dengan cita-cita global untuk memastikan akses terhadap obat-obatan dan vaksin esensial yang aman, efektif, berkualitas, dan terjangkau bagi semua masyarakat, sesuai dengan rencana pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang ditargetkan tercapai pada tahun 2030. Co-Principal Investigator of STARmeds Prof. Dr. apt. Yusi Anggriani, M.Kes, tertarik untuk melihat apakah harga obat akan berbanding lurus dengan kualitasnya.

 BACA JUGA:

“Kami tergerak melakukan penelitian ini saat publik dan media mulai mempertanyakan kualitas dari obat yang memiliki harga murah atau bahkan gratis. Kami tertarik untuk untuk melihat apakah harga obat akan selalu berbanding lurus dengan kualitasnya,” katanya dikutip Jumat (27/10/2023).

 

Metode Penelitian

Dalam studi ini, sampel diambil dari lima jenis obat, termasuk antibiotik (amoksisilin & cefixime), obat asam urat (allopurinol), obat untuk tekanan darah tinggi (amlodipine), dan steroid (dexamethasone). Sampel obat dikumpulkan dari rumah sakit, apotek, dan platform e-commerce di wilayah Jabodetabek, serta di wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia Bagian Barat, Tengah, dan Timur, termasuk Medan/Labuhan Batu; Surabaya/Kabupaten Malang; dan Kupang/Timor Tengah Selatan.

 BACA JUGA:

Hasil mengejutkan menunjukkan bahwa hampir sepertiga obat sampel yang dibeli harganya lebih dari 10 kali harga produk setara termurah, dan 10 persen sampel obat dengan harga tertinggi dihargai lebih dari 30 kali lipat harga terendah, meskipun kualitasnya serupa.

Tingkat kegagalan pengujian kualitas obat jauh lebih tinggi pada antibiotik dibandingkan obat-obatan lain. Prevalensi gagal pengujian dalam laboratorium yang telah disesuaikan dengan volume pasar untuk antibiotik adalah 6,8 persen, dua kali lipat lebih dari 3,1 persen yang diperkirakan untuk non-antibiotik, dengan mayoritas sampel gagal dalam pengujian disolusi.

 BACA JUGA:

“Ini mengkhawatirkan, jika obat antibiotik tidak melepaskan cukup bahan aktif ke aliran darah pasien, mereka mungkin hanya membunuh bakteri yang rentan tetapi tidak membunuh bakteri resisten yang dapat mengakibatkan penyebaran infeksi yang resisten,” katanya.

Sebagai informasi tambahan, sebagian besar obat palsu yang terkonfirmasi (15 dari 21 obat) dibeli dari penjual tidak resmi di online marketplace. Penelitian STARmeds ini mendukung kegiatan rutin sampling obat yang dilakukan oleh BPOM sebagai bagian pengawasan obat di pasar. STARmeds juga merekomendasikan adanya sistem data informasi obat yang saling terkoneksi antara lembaga pemerintah terkait.

(Dani Jumadil Akhir)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita edukasi lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement