Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Berdampak Buruk pada Pembelajaran, UNESCO Serukan Larangan Ponsel di Sekolah Seluruh Dunia

Susi Susanti , Jurnalis-Kamis, 27 Juli 2023 |12:11 WIB
Berdampak Buruk pada Pembelajaran, UNESCO Serukan Larangan Ponsel di Sekolah Seluruh Dunia
UNESCO serukan larangan penggunaan ponsel di sekolah (Foto: UNICEF)
A
A
A

LONDON - Sebuah laporan baru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menimbulkan kekhawatiran pada Rabu (26/7/2023) tentang penggunaan smartphone atau telepon selular (ponsel) yang berlebihan.

Laporan ini pun menyerukan agar penggunaan ponsel dilarang di sekolah-sekolah di seluruh dunia. Menurut badan pendidikan, sains, dan budaya PBB UNESCO, penggunaan ponsel yang berlebihan berdampak pada pembelajaran.

Laporan UNESCO tentang teknologi dalam pendidikan mendesak negara-negara untuk mempertimbangkan secara hati-hati bagaimana teknologi digunakan di sekolah.

Ini menekankan perlunya "visi yang berpusat pada manusia" di mana teknologi digital berfungsi sebagai alat daripada didahulukan.

Berbicara kepada UN News, Manos Antoninis dari UNESCO juga memperingatkan bahaya kebocoran data dalam teknologi pendidikan, karena hanya 16 persen negara yang menjamin privasi data di ruang kelas, menurut undang-undang.

“Kami tahu bahwa sejumlah besar data digunakan tanpa regulasi yang sesuai, sehingga data ini akhirnya digunakan untuk tujuan non-pendidikan lainnya, tujuan komersial, dan itu tentu saja merupakan pelanggaran hak yang perlu diatur,” terangnya, dikutip UN News.

Laporan yang berjudul ‘Teknologi dalam pendidikan: Alat dalam istilah siapa?’, diluncurkan pada sebuah acara di Montevideo, Uruguay yang diselenggarakan oleh UNESCO dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Uruguay, dengan dukungan tambahan dari Ceibal Foundation dan 18 menteri pendidikan dari seluruh dunia. Laporan ini mengusulkan empat pertanyaan yang harus direnungkan oleh pembuat kebijakan dan pendidik karena teknologi pendidikan semakin mudah diakses dan digunakan di seluruh dunia.

Adapun pertanyaan pertama berfokus pada penggunaan teknologi yang tepat di kelas. Anak-anak penyandang disabilitas yang mungkin kesulitan dalam pengaturan tradisional secara langsung juga dapat memperoleh manfaat dari opsi bantuan teknologi.

“Peluang yang dibukanya luar biasa, dan kami selalu kagum dengan jendela baru yang terbuka untuk pelajar,” ungkap Antoninis, Direktur yang bertanggung jawab untuk membuat laporan.

“Kita perlu mempelajari kesalahan masa lalu kita saat menggunakan teknologi dalam pendidikan agar tidak terulang kembali di masa mendatang,” lanjutnya.

“Kita perlu mengajari anak-anak untuk hidup dengan dan tanpa teknologi; untuk mengambil apa yang mereka butuhkan dari banyaknya informasi, tetapi mengabaikan apa yang tidak perlu; membiarkan teknologi mendukung, tetapi tidak pernah menggantikan interaksi manusia dalam pengajaran dan pembelajaran,” tambahnya.

“Jangan lupa bahwa untuk bisa mengarungi dunia digital, kita tidak perlu skill yang sangat canggih. Mereka yang memiliki keterampilan membaca terbaik adalah mereka yang paling kecil kemungkinannya untuk ditipu oleh email phishing, misalnya,” ungkapnya.

Laporan UNESCO juga menyoroti perbedaan yang diciptakan oleh pembelajaran digital. Selama pandemi Covid-19, setengah miliar siswa di seluruh dunia tersisih karena peralihan ke kuliah online saja.

Secara geografis, laporan tersebut mencatat ketidakseimbangan yang signifikan dalam sumber online yang mendukung Eropa dan Amerika Utara.

UNESCO mendesak negara-negara untuk menetapkan standar mereka sendiri untuk cara teknologi dirancang dan digunakan dalam pendidikan sedemikian rupa sehingga tidak pernah menggantikan instruksi langsung yang dipimpin guru dan mendukung tujuan bersama pendidikan berkualitas untuk semua.

“Revolusi digital memiliki potensi yang tak terukur tetapi, seperti peringatan yang telah disuarakan tentang bagaimana hal itu harus diatur dalam masyarakat, perhatian yang sama harus diberikan pada penggunaannya dalam pendidikan,” terang Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay.

“Penggunaannya harus untuk meningkatkan pengalaman belajar dan untuk kesejahteraan siswa dan guru, bukan untuk merugikan mereka,” lanjutnya.

Pergeseran cepat ke pembelajaran daring selama pandemi Covid-19 membuat sekitar 500 juta siswa di seluruh dunia tertinggal, sebagian besar memengaruhi mereka yang berada di komunitas pedesaan yang terpinggirkan.

Laporan tersebut menggarisbawahi bahwa hak atas pendidikan semakin identik dengan hak atas konektivitas yang bermakna, namun satu dari empat sekolah dasar tidak memiliki listrik. Ini menyerukan semua negara untuk menetapkan tolok ukur untuk menghubungkan sekolah ke Internet antara sekarang dan 2030, dan agar fokus utama tetap pada komunitas yang terpinggirkan ini.

Ada kekurangan bukti yang tidak memihak mengenai nilai tambah teknologi. Sebagian besar bukti berasal dari Amerika Serikat (AS). Salah satunya yakni ketika What Works Clearinghouse menunjukkan bahwa kurang dari dua persen intervensi pendidikan yang dinilai memiliki "bukti efektivitas yang kuat atau sedang".

UNESCO mengatakan evolusi teknologi memberi tekanan pada sistem pendidikan untuk beradaptasi. Literasi digital dan pemikiran kritis semakin penting, terutama dengan pertumbuhan AI generatif.

Data tambahan dalam laporan menunjukkan bahwa gerakan adaptasi ini telah dimulai. Yakni 54 persen negara yang disurvei telah menetapkan keterampilan yang ingin mereka kembangkan untuk masa depan, tetapi hanya 11 dari 51 pemerintah yang disurvei memiliki kurikulum AI.

Selain itu, guru juga memerlukan pelatihan yang sesuai, namun hanya setengah dari negara yang saat ini memiliki standar untuk mengembangkan keterampilan teknologi informasi dan komunikasi pendidik. Bahkan lebih sedikit lagi yang memiliki program pelatihan guru yang mencakup keamanan siber, meskipun lima persen dari serangan ransomware menargetkan pendidikan.

(Susi Susanti)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita edukasi lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement