Acara yang berlangsung di Wisma Duta Indonesia ini dibuka oleh Duta Besar Indonesia untuk Australia dan Vanuatu, Siswo Pramono. Dalam sambutannya Dubes Siswo menekankan pentingnya kreatifitas baru dalam mempromosikan bahasa Indonesia dikalangan anak-anak muda Australia.
Menurut Siswo, internasionalisasi bahasa Indonesia tidak bisa meniru Inggris atau Prancis. Negara-negara imperialis dahulu menyebarkan bahasanya dengan penjajahan di mana hal ini tidak mungkin dilakukan sekarang.
“Kita bisa meniru Korea, Jepang atau China, tanpa melakukan penjajahan fisik terlebih dahulu tapi banyak anak muda ingin belajar Korea, Jepang atau China. Korea mendistribusikan budaya yang menarik bagi anak muda di seluruh dunia, sehingga dengan suka rela anak-anak muda mau belajar bahasa Korea. Indonesia tentu juga bisa melakukan hal yang sama. Tinggal dicari kreatifitas apa lagi yang bisa menarik siswa-siswa Australia untuk belajar bahasa Indonesia,” tutur Siswo.
Ia menambahkan bahwa salah seorang diaspora yang lama mengajar di Australian National University (ANU) mengatakan banyak hal yang menyebabkan minat terharap bahasa Indonesia di Australia menurun. Salah satunya sejak terjadinya bom Bali yang banyak menewaskan warga Australia.
Saat itu orangtua di Australia banyak yang melarang anaknya belajar bahasa Indonesia.
“jumlah pemelajar bahasa Indonesia turun drastis sejak terjadinya bom Bali. Siswa-siswa tidak bisa melakukan studi tour ke Indonesia. Kalaupun mereka minat ke Indonesia, pemerintah tidak membolehkan. Padahal siswa yang pernah ke Indonesia umumnya tertarik untuk belajar bahasa Indonesia,” jelas Amrih.
Professor dibidang linguistik dari ANU I Wayan Arka mengungkapkan bahwa ada variabel yang bersifat eksternal yang tidak dapat dikendalikan. Persepsi masyarakat Australia yang memburuk sejak adanya bom Bali, menurut Wayan berada di luar kekuasaan para diaspora. Namun ada hal yang diaspora ilmuwan dapat lakukan, seperti memberikan masukan kebijakan kepada pemerintah baik Australia maupun Indonesia untuk penguatan bahasa Indonesia.
“Karena internasionalisasi bahasa Indonesia adalah mandate dari undang-undang, maka tentu harus disiapkan sumber daya pendukungnya. Misalnya Badan Bahasa di Kemdikbud, apa yang bisa diberikan untuk mendorong internasionalisasi bahasa Indonesia? Sebagai contoh, pemerintah China dan Jepang di sini memberikan dukungan pengembangan bahasa China dan Jepang dengan mengirimkan guru,” urai Arka.
Pertemuan yang dihadiri oleh tidak kurang dari 30 ilmuwan Indonesia di Canberra ini dihadiri pula oleh presiden Indonesian Academics and Researchers Network Australia (IARNA), prof Akbar Ramdhani dan Kordinator Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4) untuk Australia dan New Zealand, Sitti Maesuri Patahudin, PhD. Acara diakhiri dengan makan malam dan diskusi santai. Para diaspora umumnya menyampaikan komitmennya untuk terus mengenalkan Indonesia dan bahasa Indonesia kepada masyarakat Australia, khususnya para mahasiswa dan peneliti di kampus.
(Fakhrizal Fakhri )