Tak hanya konsisten, tes psikologis yang berkualitas juga harus valid. Berbeda dengan reliabilitas yang berfokus pada kekonsistenan hasil pengukuran, validitas berfokus pada keakuratan dari hasil pengetesan. Bayangkan jika saat Anda mengerjakan tes kepribadian introvert/extrovert seperti contoh di atas, lalu hasil pengetesan menunjukkan bahwa masyarakat adalah orang yang extrovert. Padahal, selama ini Anda merasa sebagai pribadi yang introvert dan teman-teman Anda pun melihat Anda sebagai orang yang cenderung introvert.
Perbedaan hasil ini tentu menjadi sebuah pertanyaan tersendiri mengenai sejauh mana interpretasi dari hasil tes akurat menggambarkan individu yang dinilai. Selain terkait keakuratan interpretasi, validitas juga mencakup sejauh mana tes tampil relevan dalam menilai aspek psikologis yang dikehendaki.
Contohnya, suatu tes introvert/extrovert sepantasnya menanyakan terkait kecenderungan seseorang untuk memperoleh stimulasi dan energi dari interaksi sosial, bukan menanyakan terkait persoalan matematika. Adanya validitas menjamin ketepatan dan keakuratan interpretasi yang dihasilkan dari sebuah tes sebagaimana yang dikehendaki dari tujuan awal tes.
Adapun kriteria ketiga dari sebuah tes psikologis yang berkualitas adalah standarisasi dalam setiap prosedur pengukuran. Tes psikologis sepatutnya memiliki standar yang baku dalam hal pengadministrasian tes, penskoran tes, maupun interpretasi tes. Artinya, dari saat tes tersebut diberikan pada seseorang, kemudian data pengetesan dievaluasi, hingga kemudian hasilnya diinterpretasi terdapat ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi sehingga tidak ada seseorang pun yang diuntungkan maupun dirugikan karena adanya perbedaan kondisi pengetesan.
Bayangkan jika masyarakat dan temannya mengikuti sebuah tes psikologis di mana mengerjakan tes tersebut di sebuah kafe, sementara temannya mengikuti tes dalam ruangan yang tenang. Masyarakat mungkin akan merasa dirugikan karena kebisingan di kafe berpotensi menurunkan konsentrasi dalam mengerjakan tes.
Dengan adanya standarisasi dalam pengetesan, dapat diperoleh keseragaman dalam prosedur pengetesan sehingga menjamin objektivitas tes.
Terakhir, sebuah tes psikologis yang berkualitas juga sepatutnya memiliki norma.
Dalam konteks asesmen psikologis, norma merupakan sebuah standar yang digunakan untuk menginterpretasikan hasil tes. Standar ini digunakan untuk memberikan evaluasi mengenai posisi individu dalam masyarakat umum. Misalnya, jika seseorang memperoleh skor 80 dalam sebuah tes kemampuan berhitung, apakah orang tersebut dapat disimpulkan memiliki kemampuan berhitung di atas rata-rata dalam masyarakat?
Untuk bisa menempatkan seseorang dalam sebuah kategori tinggi, sedang, rendah, dan sebagainya diperlukan sebuah norma.
Melalui norma ini kemudian bisa dikembangkan tindak lanjut dari proses pengetesan, seperti intervensi untuk peserta yang berperforma rendah maupun apresiasi bagi peserta yang berperforma tinggi. Tak hanya itu, adanya norma juga memberikan informasi mengenai sejauh mana hasil tes dapat digeneralisasikan.
Misalnya, jika pada sebuah tes berhitung, skor 70 sudah dianggap sebagai skor yang tinggi untuk peserta tes anak sekolah dasar, apakah hal yang sama berlaku pada peserta dengan karakteristik lain, seperti anak SMA? Pada anak SMA mungkin diperlukan skor lebih tinggi, misal 85, untuk bisa menempatkan mereka pada kriteria kemampuan berhitung tinggi. Dengan adanya norma dalam tes psikologis, pengambilan kesimpulan menjadi lebih bermakna.
Melalui pemaparan terkait di atas, diketahui bahwa setidaknya terdapat empat kriteria untuk menentukan kualitas tes psikologis, yaitu reliabilitas, validitas, standardisasi, dan norma. Semua kriteria ini berperan dalam menentukan apakah sebuah tes psikologis dapat konsisten, dapat dipercaya, akurat, objektif, maupun dapat digeneralisasi. Oleh karena itu, yuk dari mulai dari sekarang kita kenali dan cermati dengan kritis tes psikologis yang kita gunakan!
Ditulis oleh: Dewi Maulina dan Afiyana Eka Nurilla
(Feby Novalius)