Kecurangan Terulang di PPDB 2024, dari Jalur Prestasi-Zonasi hingga Jual Beli Kursi Orang Dalam

Binti Mufarida, Jurnalis
Senin 24 Juni 2024 11:34 WIB
Ilustrasi Kecurangan Terulang di PPDB Jakarta (Foto: MPI)
Share :

JAKARTA - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyoroti kecurangan yang masih terulang pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2024. Masalah ini sama persis dengan tahun-tahun sebelumnya dan tidak ada perbaikan.

“Kalau kita cermati, problem PPDB 2024, sama persis dengan tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada perubahan sama sekali. Begitu pula laporan pengaduan masyarakat dan hasil pemantauan JPPI tahun ini juga sama masalahnya,” ujar Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji dalam keterangan resminya, Senin (24/6/2024).

Per 20 Juni 2024, berdasarkan laporan pengaduan dan pemantauan JPPI, terkumpul sebanyak 162 kasus, yatu tipu-tipu nilai di jalur prestasi (42%), manipulasi KK di jalur zonasi (21) dan mutasi (7%), serta ketidakpuasan orang tua di jalur afirmasi (11%).

Di luar itu, ada juga kasus laporan dugaan adanya gratifikasi (19%), ini dilakukan melalui dua jalur gelap yang disebut jual beli kursi dan jasa titipan orang dalam.

“Ini semua adalah kasus rutin dan tahunan terjadi. Tidak ada yang baru. Ya gitu-gitu saja tiap tahun,” kata Ubaid.

Ubaid menyayangkan Forum Bersama Pengawasan Pelaksanaan PPDB pada tahun ini yang digagas oleh Kemendikbudristek. Pasalnya, baru muncul tahun ini dan hanya forum untuk pengawasan.

“Maka, sayang seribu sayang, jika forum bersama yang digagas Kemendikbudristek ini hanya forum ke pengawasan. Mestinya juga mendiskusikan soal kemungkinan perubahan sistem PPDB yang lebih berkeadilan untuk semua. Ini penting karena masalah PPDB ini bukan soal teknis implementasi, tapi sistemnya yang masih belum berkeadilan,” katanya.

Menurut Ubaid, sistem yang diterapkan saat ini sangat membingungkan orangtua. Contohnya, calon siswa yang ikut jalur zonasi, ternyata gagal meski jarak rumah dekat dengan sekolah.

“Kalau bukan jarak rumah ke sekolah, lalu ukurannya apa? Kasus ini tahun ini terjadi di Kota Bogor yang sempat viral minggu lalu. Kejadian ini juga juga terjadi di daerah-daerah lain," katanya.

“Begitu juga di jalur prestasi. Meski calon peserta didik berprestasi, tapi nyatanya tidak lulus juga. Kasus ini ditemukan di kota Palembang yang melibatkan 7 SMAN yang melakukan praktik maladministrasi. Jadi, ukurannya apa di jalur ini? Kegagalan di jalur prestasi ini juga menumpuk laporan kekecewaaan di banyak kota-kota lainnya,” ujar Ubaid.

Belum lagi, kata Ubaid, praktik ugal-ugalan terjadi di jalur gelap via gratifikasi dan jasa titipan orang dalam. “Ini melibatkan banyak pihak dan menguras banyak uang. Tahun ini, dilaporkan dugaan adanya kasus ini mulai dari angka Rp2 juta-Rp25 juta terjadi di berbagai daerah,” ungkapnya.

Akibat sistem PPDB yang belum berkeadilan, tahun 2023 lalu misalnya ditemukan jumlah anak tidak sekolah (ATS) yang masih menggunung. Berdasarkan data BPS 2023, ATS masih ditemukan di tiap jenjang, SD (0,67%), SMP (6,93%), dan SMA/SMK (21,61%).

Ubaid mengatakan jika dikalkulasi, JPPI mengestimasi populasi ATS ini mencapai 3 juta lebih. Ini jumlah yang sangat besar. “Itu data anak yang dipastikan tidak sekolah dan putus sekolah. Sementara data Kemendikbudristek tahun 2023, ditemukan sejumlah 10.523.879 peserta didik yang terdiskriminasi di sekolah swasta karena harus berbayar,” kata Ubaid.

Berdasarkan fakta-fakta ini menunjukkan, bahwa pemerintah pusat dan daerah, dan juga sekolah menganggap PPDB sebagai rutinitas biasa dan justru sesak dengan oknum yang hanya ingin meraih untung cuan musiman. Mereka jelas tidak belajar dari kesalahan tahun-tahun lalu, buktinya adalah tidak adanya perubahan sistem.

“Dengan sistem yang sekarang, yang tercermin dalam Permendikbud Nomor 1 tahun 2021, orang tua disibukkan dengan jalur ini dan jalur itu. Padahal kita semua tahu bahwa semua jalur itu isinya zonk, karena ketersedian bangku sekolah yang kurang, ditambah lagi masalah mutu sekolah yang masih timpang. Akibatnya, mereka harus sikut sikutan menghalalkan segala cara untuk memenangi PPDB dengan sistem kompetisi berbalut zonasi dan prestasi ini,” kata Ubaid.

Ubaid berharap, sistem kompetisi dalam rebutan kursi di musim PPDB ini harus diakhiri. Sistem PPDB yang seperti ini hanya menguntungkan sekolah negeri dan mendiskriminasi sekolah swasta. Begitu pula bagi anak, menguntungkan yang lulus PPDB di sekolah negeri, sementara menyiksa orangtua yang gagal, karena harus masuk swasta yg berbiaya mahal, atau swasta berbiaya murah tapi tidak berkualitas.

“Apa ini yang namanya berkeadilan? Masih jauh lah, ini jelas melenceng dari mandat konstitusi yang diemban pemerintah soal perlindungan dan pemenuhan hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan bagi semua,” katanya.

(Dani Jumadil Akhir)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Edukasi lainnya