“Jadi tone-nya mungkin terlalu negatif dan tadi tanpa konteks gitu ya, hanya memotong bagian-bagian tone-nya itu yang sensitif sehingga seolah-olah buku itu mempromosikan bully, mempromosikan kekerasan seksual padahal sebaliknya. Seringkali tema-tema sensitif itu dibahas justru untuk mengkritik untuk mencegah, untuk membicarakan bahwa ini adalah masalah untuk masyarakat kita,” lanjutnya.
“Jadi reaksi yang awareness bukan sebaliknya gitu ya, memang kalau hanya lihat potongan-potongan itu seolah-olah buruk,” sambungnya.
Kemendikbudristek juga jelaskan jika literasi dengan konten sensitif ini diperuntukkan sesuai jenjangnya seperti pelajar SMA. Tidak mungkin diberikan kepada pelajar SD yang belum mengerti.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)