Lika-Liku Perjuangan Menuju Impian
Kehidupan yang biasa saja membuat Maria bosan. Otaknya seperti butuh asupan. Di tengah timeline Facebook Maria yang biasanya sepi, tiba-tiba BPSDM (Badan Pengelola Sumber Daya Manusia) kota Papua membagikan tautan tentang pengumuman kursus bahasa Inggris yang bisa diikuti pegawai.
Informasi yang sangat berharga namun sayangnya tidak dibagikan secara luas apalagi disosialisasikan kata Maria. Tidak banyak berpikir, Maria yang mengetahui hal tersebut langsung mendaftarkan diri.
“Jadi kursusnya itu saya tidak tahu TOEFL itu apa, IELTS itu apa. Jadi pada saat 2015 di bulan Februari, pergi, sudah ikut saja. Kemudian dikasih tahu TOEFL. TOEFL itu paling bodoh sekali saya. Jadi nomor 45, murid terakhir dalam kelas itu saya (yang lulus) karena placement test itu pakai TOEFL. Tapi Puji Tuhan saya nomor terakhir, yang paling terakhir lolos,” kenangnya.
Karena hal itu pula, Maria juga mendapat kesempatan mengikuti salah satu program lainnya dari BPSDM untuk belajar bahasa Inggris di Australia. Ia menjadi salah satu dari 10 orang yang terpilih.
Pada 2015, BPSDM Papua mengadakan pameran beasiswa di mana salah satunya adalah LPDP. Minimnya informasi membuat Maria tak tahu apa itu LPDP. Salah satu persyaratan dari LPDP untuk bisa mendapatkan beasiswa saat itu adalah nilai IELTS.
“Saya sambil kursus 3 bulan itu betul-betul belajar, saya usaha harus bisa dapat (nilai) 5. Saya berjuang, ke kantor juga (membawa) buku bahasa Inggris. Jadi saya kerja, bahasa Inggris, kerja (lagi). Sampai kemudian kita tes bahasa Inggris, terus lolos,” terangnya.
Usaha memang tidak berkhianat. Setelah berbagai tes dari LPDP dilalui, Maria sampai di tahap terakhir yaitu wawancara. Ketika ditanya apakah akan melanjutkan di universitas dalam negeri atau di luar negeri, Maria dengan tegas ingin ke luar negeri. Singkat cerita, Maria berhasil lolos.
Program Human Resources di Marshall University menjadi tempat Maria menggali ilmu lebih tinggi.
Maria sedikit mengalami kesulitan pada awal perkuliahan karena cara pembelajaran yang berbeda dengan di Indonesia.
Saat menjalani perkuliahan Maria juga sempat berpindah tempat tinggal karena ingin memiliki teman yang bisa membuatnya semakin lancar dalam berbahasa Inggris.
“Jadi akhirnya semester berikutnya, saya keluar dari apartemen itu. Saya (pindah) gabung sama yang betul-betul bule. Jadi satu apartemen empat kamar, itu semua bule di dalam. Komunikasinya sama bule, teman main di kelas juga harus bule. Kalau tidak, saya nggak pintar pintar, ‘nggak paham paham. Kalau sama bule ‘kan cepat tuh,” beber Maria.
Akhirnya pada 2018 lalu, Maria berhasil menyelesaikan studinya dan mendapat gelar Master program Human Resources Management and Services.
Karena gelar master Human Resource-nya, tak sedikit perusahaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang melirik Maria. Namun bagi Maria, Papua masih terlalu menarik untuk ditinggalkan. Maria merasa masih banyak hal yang harus diperbaiki di tanah kelahirannya.
“Jadi pertama orangtua yang bikin pulang, kemudian ya Papua. Papua (saat ini) tidak baik-baik saja. Jadi memang harus sekolah, dan memang harus kembali mengabdi. Kalau saya tidak menyaksikan dan merasakan langsung perkembangan dan perubahan apa yang terjadi di Papua, saya tidak bisa bantu untuk merubahnya. Jadi betul-betul harus merasakan setiap hal detail yang terjadi,” ungkap wanita 31 tahun tersebut.