Sanksi Pungli
Ubaid pun mengungkapkan oknum pimpinan sekolah mempunyai peran dalam penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Biasanya, RAPBS ini disusun secara sepihak, serta kurang partisipatif dan tidak transparan.
“Nah, dokumen RAPBS ini akan dijadikan dasar legitimasi oleh Komite Sekolah untuk melakukan pungli. Komite Sekolah beralasan bahwa untuk menunjang proses pembelajaran, maka dibutuhkan ini dan itu (sebagaimana tertuang di RAPBS), tapi keuangan belum mencukupi. Lalu, Komite Sekolah menugaskan Korlas untuk menyebarkan info pungutan dan menjadi kasir dan penagih pungli di tiap-tiap kelas,” jelasnya.
BACA JUGA:
Selama tiga pihak ini dapat bergerak bebas, kata Ubaid, maka pungli akan tetap lestari di sekolah. “Karena itu, mendorong untuk menghentikan praktik pungli yang sangat meresahkan orang tua peserta didik di sekolah, dengan membubarkan Komite Sekolah abal-abal,” katanya.
Ubaid juga mendorong agar dibubarkan korlas. Dia menjelaskan korlas ini dibentuk oleh komite sekolah sebagai kepanjangan tangan untuk memuluskan agenda pungli di kelas-kelas, dan berhadapan langsung dengan wali murid atau orang tua.
“Bahkan, dia bisa berperan bak debt collector jika ada orang tua yang tidak bayar pungutan. Karena itu, bubarkan saja struktur korlas di kelas-kelas, karena selalu meneror orang tua,” katanya.
Lebih lanjut, Ubaid juga mendorong agar dicabut kewenangan Komite Sekolah untuk melakukan penggalangan dana. “Kemudian, usut tuntas dan sanksi tegas kepada para pelaku yang terlibat. Biasanya, pelaku pungli sekolah hanya dijatuhkan sanksi berupa pencopotan jabatan dan pindah tugas,” ucapnya.
Mestinya, kata Ubaid, para pelaku ini dapat terkena pasal pemerasan dan terjerat undang-undang tindak pidana korupsi. Hal ini sesuai Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (tipikor).
“Jadi, oknum yang terlibat bisa dipenjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar,” katanya.
(Marieska Harya Virdhani)