Mendengar teriakan itu, Presiden Jokowi melihat ke arah Siti dan langsung melambaikan tangannya.
"Mari, Bu,l. Ke sini, Bu. Ibu punya keluhan apa? Ke sini, Bu."
Penjagaan di hadapan Siti kemudian terbuka, mempersilakannya mendekat kepada Presiden. Rupanya, Siti sempat berdoa pada malam-malam sebelumnya agar suatu hari dapat berjumpa Kepala Negara.
Keinginan Siti pun terkabul saat itu. Begitu berjumpa Presiden, sambil menggenggam erat tangan Presiden Jokowi, Siti menyampaikan keluhan hatinya.
Kepada Presiden, ia bercerita tentang dirinya yang tidak bisa membayar uang kuliah tunggal (UKT) anaknya, Devid Telussa.
"Saat itu juga Pak Jokowi terima saya dengan baik, minta KTP saya. 'Ibu ada KTP?' 'Ibu ada nomor HP?' Ada, Pak Jokowi," lanjutnya bercerita.
Singkat cerita, selepas pertemuan tersebut Siti dihubungi oleh staf Kepresidenan yang meminta data anaknya untuk bisa mendapatkan beasiswa dari Presiden Jokowi.
Siti yang saat itu sedang berjualan puding di sekitar RSUP Prof. Kandou, Kota Manado, menangis dan terduduk, sambil mengucap syukur. Ia tidak menyangka keluh kesahnya--yang disampaikan dalam pertemuan singkatnya dengan Presiden saat acara peninjauan--ditindaklanjuti dan dikabulkan.
"Ya Allah, terima kasih. Ya Allah telah kabulkan saya baca doa selama ini," ujarnya sambil terisak.
Devid Telussa, anak Siti lahir dari keluarga yang tidak berkecukupan. Saat ini, pria berusia 19 tahun tersebut duduk di semester II di Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi.
Sehari-hari Siti mencoba membantu suaminya, Hamid bekerja sebagai sopir serabutan, untuk mencari tambahan penghasilan dengan berdagang puding.
Penghasilan keduanya tidak cukup untuk membayar UKT Devid.
Bahkan, saat mendaftar untuk mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), Devid harus meminjam uang pendaftaran sebesar Rp150 ribu kepada orang tua temannya.
"Waktu mau masuk itu banyak sekali kendala, soal administrasi waktu ikut SBMPTN uang juga hanya pinjam untuk pendaftaran. Bahkan sampai sekarang Devid hanya mencicil karena belum bisa mengembalikan," tutur Devid di rumahnya di daerah Malalayang Satu, Manado.
Sebetulnya ayah Devid, Hamid Monoarfa, ingin anak pertamanya itu segera bekerja selepas lulus dari jurusan jaringan dan komputer di SMK.
Sebagai orang yang secara ekonomi berkekurangan, Hamid menyadari begitu besarnya biaya untuk menguliahkan anaknya.
Namun, melihat tekad anaknya yang sangat kuat untuk melanjutkan studi, membuat ia dan istri berupaya sekuat tenaga agar Devid bisa kuliah.
"Akan tetapi orang tua juga berpikir, bagaimanapun coba usaha. Pertama kali itu berusaha untuk masuk dulu. Jadi kami berusaha untuk membayar yang pertama itu. Itu Rp3 juta, itu tidak sepenuhnya dari kami. Sebagian kami pinjam dari teman-teman. Sampai sekarang belum lunas, tapi mereka bilang mereka ikhlas," cerita Hamid.
Di mata kedua orang tuanya, Devid adalah anak yang rajin dan penurut. Jika Devid sedang belajar, ia sering lupa waktu.
Tak jarang makanan yang disimpan untuk Devid juga menjadi basi karena Devid pulang larut malam untuk belajar di luar rumah.