2 Tokoh yang Berbeda Pandangan Soal Pemberontakan PKI 1926/1927

Mirsya Anandari Utami, Jurnalis
Kamis 15 September 2022 16:38 WIB
Tan Malaka/MPI
Share :

JAKARTA - Sejak pecahnya tragedi G30SPKI, paham komunis dianggap sebagai aib dan dilarang di Indonesia. Banyak tokoh komunis yang ditangkap dan diberantas.

Buku-buku Marxisme dibakar dan dilarang beredar pada masa Orde Baru. Namun, ada sejumlah tokoh komunis yang justru menerima anugerah gelar pahlawan nasional.

Pemikiran dan usaha dalam memperjuangkan kata “Merdeka” mengharumkan nama mereka. Berikut ini adalah dua tokoh yang berbeda pendapat mengenai pemberontakan 1926/1927 terhadap Belanda.

1. Tan Malaka

Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia (RI) yang terlupakan. Namanya jarang terdengar namun jasanya terasa hingga sekarang.

Tan Malaka adalah tokoh pejuang Indonesia yang lahir pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Sumatera Barat. Dia terlahir dengan nama asli Sutan Ibrahim.

Dia adalah anak dari pasangan HM Rasad dan Rangkayo Sinah. Nama Tan Malaka ia dapatkan berkat garis bangsawan dari ibunya.

Tan Malaka bergabung dengan Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), yang kemudian berubah menjadi Partai Komunis Indonesia.

Bahkan, Tan pernah menjadi ketua dari partai tersebut. Tan Malaka terkenal aktif mengirim tulisan yang berisi penderitaan pribumi ke berbagai surat kabat.

Tulisannya yang tajam dan radikal membuat Tan Malaka menjadi buron oleh Belanda. Dia harus berpindah dan bersembunyi dalam pelarian dengan 23 nama samaran yang digunakan untuk menjelajahi 11 negara.

Dalam pelariannya di Cina, Tan Malaka menulis sebuah buku yang menjadi pelopor dari konsep negara Indonesia berjudul Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925.

Tidak hanya itu, Tan Malaka juga menulis buku Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika yang berisi cita-cita Tan Malaka untuk Indonesia.

Selain tulisan, Tan Malaka juga terjung dalam berbagai gerakan untuk perjuangan bangsa. Dia menolak tunduk kepada Belanda dan tidak sudi berunding dengannya.

Hal inilah yang menjadi penghalang antara Soekarno Hatta dan Tan Malaka.

Soekarno-Hatta yang memilih jalan diplomasi membuat Tan Malaka berang. Dari sinilah terbentuk kelompok oposisi. Tan Malaka bersama anggota oposisinya melakukan kudeta kepada Pemerintahan Sjahrir.

Upaya kudeta gagal dan Tan Malaka dijebloskan ke dalam penjara selama 2 tahun.

Setelah Tan bebas, dia membentuk Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) pada 7 November 1948.

Bergerak di Solo, Yogyakarta, hingga Jawa Timur, Tan Malaka bersama Murba bergerilya menghadapi Belanda. Bahkan, dia menyuarakan rakyat untuk ikut melawan melalui radio di Kediri.

Usaha Tan Malaka tersebut dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah. Atas perintah Guernur Militer Jawa Timur, Tan Malaka menjadi buronan.

Pria asal Sumatera Barat itu berhasil ditangkap oleh pasukan Batalion Sikatan Divisi Brawijaya saat menyusuri Kaki Gunung Wilis, Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur.

Dia pun langsung dieksekusi oleh tembakan peluru dan dimakamkan di Kediri.

Pada tahun 1963, Presiden Soekarno menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional.

Namun, Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai musuh Indonesia karena keterkaitannya dalam partai komunis.

Padahal, Tan Malaka sama sekali tidak terlibat dalam pemberontakan PKI, baik PKI 1926/1927 maupun PKI Madiun. Tan Malaka justru menolak hal itu.

2. Alimin

Jauh sebelum peristiwa berdarah Pemberontakan PKI Madiun 1948, partai berhaluan ini sudah pernah membuat pemeberontakan sebelumnya.

PKI yang sebelumnya bernama Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV) pernah melakukan pemberontakan pada tahun 1926 di Banten dan tahun 1927 di Sumatera Barat.

Salah satu tokoh yang terlibat dalam gerakan itu adalah Alimin.

Alimin adalah seorang pria asal Jawa Tengah yang lahir pada 1889. Dia ikut tergabung dalam Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV) bersama Bapak Republik Indonesia, Tan Malaka.

Walaupun berada di dalam partai yang sama, keduanya memiliki pandangan yang berbeda.

Tan Malaka menolak dan mengecam aksi pemberontakan PKI 1926 karena dinilai kurang siap.

Berbeda dengan Alimin yang tetap kukuh dengan keputusan tersebut.

Di sinilah perang pemikiran antara Tan Malaka dan Alimin terjadi. Keduanya saling menyerang lewat adu pena.

Tan Malaka mengeluarkan thesis yang berisi jawaban atas tudingan teman-teman separtainya yang menuduhnya sebagai pengkhianat. Lalu, thesis tersebut dijawab Alimin dengan analisis yang memperkuat tudingan pengkhianatan terhadap Tan Malaka.

Walaupun terjadi pertentangan di antara keduanya, pemberontakan pun tetap berjalan.

Alhasil, perkiraan Tan malaka pun terbukti benar. Pemberontakan tersebut gagal dan para tokoh yang terlibat ditangkap oleh militer Belanda.

Tidak seperti pemberontakan PKI lainnya, Pemberontakan PKI 1926 diniai sebagai salah satu bentuk perjuangan masyarakat Indonesia melawan kependudukan Belanda.

Walaupun pemberontakan itu berakhir dengan kegagalan, Alimin telah berusaha untuk memperjuangkan Bangsa Indonesia.

Selain keterlibatannya dalam partai komunis, Alimin juga pernah terlibat dalam sejumlah pergerakan nasional seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, Insulinde.

Dia juga merupakan salah satu pendiri Sarekat Buruh Pelabuhan.

Atas jasa-jasanya dalam berbagai pergerakan nasional, Alimin dianugrahkan gelar pahlawan nasional pada1964 oleh Presiden Soekarno.

Alimin mengembuskan nafas terakhirnya pada 24 Juni 1964 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata.

Mirsya Anandari Utami, mahasiswa aktivis Persma Ketik Politeknik Negeri Media Kreatif (Polimedia) Jakarta 
Mirsya Anandari Utami, mahasiswa aktivis Persma Ketik Politeknik Negeri Media Kreatif (Polimedia) Jakarta 

(Natalia Bulan)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Edukasi lainnya