Warnanya, lanjut dia, juga cenderung gelap dengan corak simbolik seperti parang dan kawung.
“Sementara batik kontemporer cenderung lebih bersifat dinamis dengan corak warna yang lebih cerah. Dari sisi desain atau motif, batik kontemporer tidak terpaku pada motif lama,” ujar Najib.
Pengetahuan soal batik kontemporer diajarkan dalam lokakarya batik di KBRI Canberra melalui kegiatan menggambar motif batik dengan pendekatan tematik kekinian, tidak terpaku pada pakem motif batik yang sudah banyak dikenal, seperti parang, kawung, dan sogan.
Instruktur batik asal Yogyakarta, Dias Prabu, menyebut motif batiknya sebagai Batik Kontemporer 'Flowing Lifelines'.
Batik kontemporer, katanya, sangat cocok untuk semangat kemerdekaan karena seni batik kontemporer bebas dari pola-pola lama.
Menurut Dias, desain yang dikembangkan dalam batik kontemporer dapat berasal dari cerita rakyat dan legenda Indonesia.
Semua cerita ditampilkan secara kontemporer namun tetap tidak kehilangan identitas Indonesia-nya.
“Dapat dikatakan batik kontemporer yang kita kembangkan ini adalah batik tematik atau batik yang bercerita. Khusus untuk di Australia ini kita mencoba merangkai sejarah kedekatan Indonesia dan Australia di masa lalu melalui sebuah batik. Jadi batik yang dihasilkan membawa tema hubungan Australia Indonesia”, ujarnya.
Lokakarya
Para peserta lokakarya batik kontemporer ini mengikuti beberapa tahap proses pengerjaan, yaitu dari pembuatan sketsa, proses mencanting, pewarnaan, pelorotan, hingga pengeringan.
Proses yang memakan waktu pengerjaan selama tiga jam itu cukup untuk menghasilkan karya batik yang utuh. Setelah itu, peserta dapat membawa ke rumah hasil karyanya masing-masing.