Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

PPI Dunia Minta Pemerintah Cari Solusi Atasi Ketergantungan LPG Melon

Kurniasih Miftakhul Jannah , Jurnalis-Senin, 03 Maret 2025 |07:10 WIB
PPI Dunia Minta Pemerintah Cari Solusi Atasi Ketergantungan LPG Melon
PPI Dunia Minta Pemerintah Cari Solusi Atasi Ketergantungan LPG Melon (Foto: Okezone)
A
A
A

JAKARTA – Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI Dunia) menyoroti kasus kelangkaan gas elpiji 3 kg di berbagai wilayah Indonesia. Permasalahan ini bermula pada 1 Februari ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, melarang penjualan LPG melon di tingkat pengecer. Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan harga LPG sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) serta menyalurkannya tepat sasaran bagi masyarakat miskin.

Namun, keputusan tersebut diimplementasikan secara terburu-buru dengan sosialisasi yang sangat singkat. Akibatnya, terjadi kepanikan di masyarakat. Presiden Prabowo Subianto akhirnya menginstruksikan agar LPG melon kembali diperjualbelikan di tingkat pengecer pada 4 Februari. Meski demikian, dampak dari kebijakan yang mendadak ini masih dirasakan oleh masyarakat luas.

1. Solusi Jangka Panjang

Menanggapi situasi ini, PPI Dunia mengecam keras buruknya implementasi kebijakan tersebut. Laila Rahmah, mahasiswa S2 di Tehran University of Medical Sciences Iran, menyatakan bahwa kebijakan semacam ini seharusnya dikomunikasikan dan diterapkan secara bertahap agar masyarakat lebih siap.

"Sangat disayangkan banyak keluarga yang kesulitan memasak karena kehabisan gas LPG. Banyak pula masyarakat yang harus mengantre berjam-jam hanya untuk kembali dengan tangan kosong," ujarnya.

Ryan Haryo Styawan, mahasiswa S3 di University College Cork, Irlandia, menekankan pentingnya solusi jangka panjang untuk mengatasi ketergantungan pada LPG melon. Ia mengusulkan pengembangan biogas sebagai alternatif energi domestik. Teknologi ini telah dikembangkan oleh para peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang memanfaatkan gas metana dari sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) untuk diubah menjadi biogas.

2. Transisi ke Kompor Listrik

Sementara itu, Nugraha Akbar Nurrochmat, mahasiswa S3 di Warsaw University of Life Sciences, menyoroti kemungkinan transisi ke kompor listrik seperti yang telah diterapkan di banyak negara Eropa. Namun, ia menekankan bahwa pemerintah perlu meningkatkan kapasitas pembangkit listrik yang ada agar infrastruktur mendukung perubahan ini.

Energi terbarukan dapat menjadi solusi yang ideal, bahkan jika memungkinkan, pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir dapat dipertimbangkan. Melihat kondisi di Eropa, pada 2021, Prancis menghasilkan 69% listriknya dari tenaga nuklir, sementara Finlandia (32,8%), Swedia (30,8%), dan Swiss (28,8%) juga mengandalkan sumber energi ini. Namun, pembangunan PLTN di Indonesia menghadapi tantangan besar, termasuk biaya tinggi, regulasi ketat, serta kekhawatiran terkait keselamatan dan lingkungan. Oleh karena itu, perencanaan matang dan edukasi publik sangat diperlukan.

 

Halaman:
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita edukasi lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement