“Papua adalah satu area yang secara perspektif masih dominan kerangka pendekatan keamanan negara, sehingga pilihan-pilihan pendekatan keamanannya adalah pilihan pendekatan singkat melalui operasi militer, pendekatan penegakan hukum yang berlebihan yang dilakukan dengan kriminalisasi,” ujarnya.
Sejarah memperlihatkan, sejak menjadi bagian dari Indonesia, Papua selalu mengalami konflik, kekerasan, dan bahkan korban jiwa. “Sejak integrasi, Papua terus menghadapi berbagai bentuk konflik yang belum terselesaikan hingga saat ini,” ujar Al Araf. Ia menegaskan bahwa meski konflik di Papua bersifat fluktuatif, kadang naik, kadang turun, realitas kekerasan tetap menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Papua.
Dosen Universitas Brawijaya serta Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD), ini juga mengkritisi pendekatan pemerintah yang selama ini lebih mengedepankan keamanan negara (state security) daripada keamanan manusia (human security).
“Pemerintah telah berulang kali menerapkan pendekatan keamanan, politik, dan ekonomi, termasuk pembangunan infrastruktur. Tapi pertanyaannya, mengapa konflik dan kekerasan terus berlanjut?” tanyanya.
Indikator bahwa negara melakukan pendekatan state security, kata Al Araf dapat dilihat dari fakta bahwa hingga Operasi Militer masih terus berlanjut,deployment pasukan non organik ke Papua bahkan tanpa melalui keputusan politik, sehingga tidak sejalan dengan UU TNI No 34/2004. Berikutnya, perluasan penambahan struktur komando teritorial, yang diikuti dengan pembangunan Pos-pos TNI serta operasi penegakan hukum yang berlebihan dari batas-batas kemanusiaan seperti aksi-aksi demonstrasi di Papua yang sering dihalangi dalam konteks kebebasan berekspresi.