JAKARTA – Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) mengukuhkan dua Guru Besar baru dalam bidang Ilmu Komunikasi dan Hukum Kenegaraan. Pengukuhan ini diberikan kepada Prof. Dr. Anter Venus, MA, Comm, yang saat ini menjabat sebagai Rektor UPNVJ, serta mengukuhkan Prof. Dr. Taufiqurrohman, S.H., M.H., dari Fakultas Hukum.
Dalam pengukuhan tersebut, Prof. Dr. Anter Venus mendapatkan gelar Guru Besarnya dalam bidang Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UPNVJ. Sementara itu, Prof. Dr. Taufiqurrohman, S.H., M.H., dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Hukum dan Kenegaraan di Fakultas Hukum UPNVJ.
Pengukuhan guru besar ini merupakan implementasi dari Tridharma Perguruan Tinggi dalam bentuk penelitian dan sebagai bentuk komitmen UPNVJ dalam turut serta berkontribusi menghasilkan akademisi yang berbobot, yang mampu membangun peradaban berbasis keilmuan dan dapat memberikan sumbangsihnya sebagai pemimpin masa depan yang berkarakter dan bermoral tinggi.
Ketua Senat UPNVJ Prof. Dr. dr. Basuki Supartono, SpOT, FICS, ARS, mengatakan bahwa menjadi profesor tidaklah hanya sekedar mengajar, tetapi harus mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan dari hasil risetnya untuk dedikasi terhadap bangsa.
"Seorang profesor tidak hanya mengajar, lebih jauh dari itu, profesor mengembangkan atau menciptakan ilmu pengetahuan dari hasil-hasil risetnya, dan mendedikasikannya untuk bangsa dan untuk membela negaranya," ujar Basuki.
Dalam kesempatannya, Prof. Dr. Anter Venus, MA, Comm memberikan orasi ilmiahnya yang berjudul "Nilai-nilai Komunikasi Keindonesiaan: Eksplorasi Untuk Sebuah Model Yang Sistematis."
Menurutnya, tema yang ia bawa dalam orasi ilmiah relevan dengan semangat memperkuat identitas kebangsaan/ bela negara. Tak hanya itu, ia mengungkapkan bahwa tema ini memberikan nuansa filosofis yang lebih merangsang dan menggungah pikiran tentang fenomena komunikasi sebagai realitas sosial di sekitar kehidupan sehari-hari.
Realitas sosial merupakan salah satu jenis realitas yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Realitas sosial ini mencakup diantaranya struktur, nilai, norma yang berlaku di tengah masyarakat yang menunjukkan bagaimana cara mereka memahami, menafsirkan, dan berinteraksi dengan lingkungan sosial mereka. Di luar realitas sosial kita menemukan realitas objektif, realitas subjektif, dan realitas artifisial yang mencakup realitas virtual, realitas tertambah (augmented reality) hingga hyperreality.
Cara pandang orang Indonesia tentang komunikasi berpusat pada hati. Hati menjadi pusat emosi, moralitas dan spritualitas. Dari hati kemudian diturunkan nilai utama komunikasi yakni budi yang dalam konsep komunikasi dioperasional menjadi budi bahasa dan budi bicara. Nilai utama bdi mengatur keseimbangan komunikasi antara aspek rasa (hati) dengan rasio (akal). Nilai utama budi menjadi rujukan bagi sepuluh nilai instrumental dalam memandang perilaku komunikasi dan lima prinsip komunikasi. Keseluruhan cara pandang dan tata nilai-nilai komunikasi tersebut dapat digambarkan secara sistematik dalam model komunikasi berbudi.
Sebelum dikukuhkan menjadi guru besar, Taufiqurrohman sebelumnya memperoleh gelar Sarjana Hukum dari UII Yogyakarta pada tahun 1985, Magister Ilmu Hukum dari Program Pascasarjana UI Jakarta pada tahun 1993, meraih Gelar Doktor Hukum Tata Negara (HTN) dari Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana UI pada tahun 2003.
Kemudian, Prof. Dr. Taufiqurrohman, S.H., M.H. juga turut memberikan orasi ilmiahnya. Dalam kesempatannya, ia memberikan orasi ilmiah yang berjudul "Harmonisasi Prinsip Demokrasi, Nomokrasi dan Teokrasi untuk Hukum Kenegaraan Indonesia Berkeadilan Berdasarkan Konstitusi."
Menurutnya, sungguhpun bangsa Indonesia sudah beberapa kali mengalami pergantian konstitusi hingga yang terakhir perubahan konstitusi di masa reformasi yang penuh kebebasan, namun praktik kehidupan kenegaraan terutama di ranah demokrasi, nomokrasi, dan kedaulatan Tuhan, masih jauh yang diharapkan.
Penerapan prinsip demokrasi tanpa kedaulatan hukum dan kedaulatan Tuhan dapat menghasilkan suatu keputusan politik yang meskipun legal namun jauh dari keadilan sebagai esensi nilai Ketuhanan yang Maha Esa. Demikian juga penerapan kedaulatan hukum atau menjadikan hukum sebagai panglima tanpa demokrasi dan kedaulatan Tuhan dapat menghasilkan produk hukum tertulis yang jauh dari esensi etika dan keadilan serta penerapan kedaulatan Tuhan tanpa demokrasi dan hukum akan dapat berakibat terjerumus pada kehidupan negara yang otoritarian atau kekuasaan absolut.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)