Meski demikian peluang tersebut tidak terlepas dari berbagai tantangan yang perlu diantisipasi secara matang. Salah satu tantangan utama adalah potensi persaingan dengan industri dari negara anggota BRICS lainnya, yang mungkin memiliki keunggulan serupa dengan Indonesia.
Selain itu, hubungan Indonesia dengan mitra dagang tradisional juga perlu dijaga agar tidak menimbulkan ketegangan yang dapat berdampak negatif terhadap perekonomian. Oleh karena itu, pemerintah perlu merumuskan strategi yang komprehensif dan terarah agar keanggotaan Indonesia dalam BRICS tidak hanya memberikan manfaat optimal, tetapi juga mampu mengelola risiko yang muncul secara efektif.
Untuk beralih ke status negara berpendapatan tinggi, Indonesia dihadapkan pada tantangan besar, yaitu mempertahankan pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 7% per tahun selama periode 15 hingga 20 tahun mendatang. Tantangan ini sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional hingga 8% pada tahun 2029.
"Dalam konteks ini, keanggotaan Indonesia di BRICS menawarkan peluang besar untuk mengatasi hambatan struktural yang selama ini menjadi penghalang, seperti jebakan pendapatan menengah atau middle-income trap," tandasnya.
Seperti diketahui keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS ini bukan hanya merupakan langkah diplomatik semata, melainkan juga mencerminkan konsistensi negara dalam menerapkan prinsip politik luar negeri yang bebas aktif, yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Dalam konteks ini, keputusan tersebut menunjukkan bahwa Indonesia berkomitmen untuk terus berperan aktif dalam menciptakan tatanan ekonomi global yang lebih adil dan berimbang.
Melalui langkah ini, Indonesia tidak hanya berusaha untuk memperkuat posisi geopolitiknya, tetapi juga memperluas kontribusinya dalam memajukan kerjasama internasional yang mengutamakan kemitraan yang saling menguntungkan, dengan harapan dapat mendorong perubahan positif dalam sistem perekonomian dunia.
(Feby Novalius)