JAKARTA - Teknologi membantu manusia untuk saling terkoneksi, lebih cepat menyelesaikan tugas dan mengerjakan hal-hal yang sebelumnya tidak terbayangkan. Namun, teknologi juga memiliki sisi gelap.
Dalam dunia kerja, teknologi tidak hanya membantu, tapi dapat membuat karyawan stres. Stres ini dikenal sebagai technostress, yaitu stres yang disebabkan oleh penggunaan teknologi.
Dampak technostress ini bisa besar, loh. Jika perusahaan tidak hati-hati dalam menangani atau meredam technostress, dampak negatif bisa muncul pada karyawan, seperti mengurangi kepuasan kerja, komitmen, inovasi, dan produktivitas secara umum. Jadi apa sih yang bisa pemicu technostress dan bagaimana cara mencegah stres ini?
Teknologi dapat memicu stres karena berbagai hal, yang disebut juga sebagai technostress creators (penyebab stres karena teknologi), yaitu:
1. Techno-complexity (“Susah banget sih mau pakai ini!”)
Stres bisa terjadi karena teknologi yang digunakan terlalu rumit, tidak cukup pengetahuan mengenai teknologi, atau butuh waktu yang banyak untuk bisa memahami teknologi. Misalnya, karyawan mendapatkan peralatan baru dari luar negeri dengan panduan yang sangat sulit untuk dipahami dan tidak ada pelatihan sebelumnya tentang peralatan tersebut.
2. Techno-invasion (“Gara-gara ada aplikasi ini, kehidupan pribadi saya jadi terganggu!”)
Karyawan juga bisa merasa stres karena teknologi bisa melanggar privasi atau mengurangi batasan antara kehidupan pribadi dan kehidupan kerja. Tidak jarang karyawan harus membalas pesan dari atasan atau klien di luar jam kerja, tetap harus memantau pekerjaan ketika liburan, atau tidak nyaman karena di tempat kerjanya dipasang CCTV untuk mengawasi kinerjanya.
3. Techno-insecurity (“Kayanya pekerjaan saya tidak relevan lagi deh sejak ada teknologi ini”)
Inovasi teknologi memang bisa membuat kerja lebih efisien, tapi bisa juga dianggap merebut lapangan kerja manusia atau membuat mereka harus bersaing dengan orang baru yang memiliki kompetensi terkait teknologi tersebut. Hal ini menyebabkan karyawan bisa merasa terancam dan tertekan untuk terus meningkatkan diri agar bisa tetap relevan di tengah gempuran inovasi baru seperti mesin atau program terbaru maupun hal seperti Artificial Intelligence (AI).
4. Techno-overload (“Banyak banget tugasnya sekarang gara-gara teknologi, bikin capek!”)
Karyawan bisa dituntut untuk bekerja lebih lama, lebih banyak, dan lebih cepat karena dukungan teknologi. Misalnya, rapat bisa berlangsung lebih lama sampai malam karena bisa dilakukan pertemuan via panggilan video. Mesin pencarian dan kemungkinan untuk menarik data dalam jumlah yang besar memungkinkan laporan kerja yang lebih kaya dengan data banyak. Akibatnya, karyawan bisa merasa kewalahan karena harus mengubah gaya kerjanya untuk disesuaikan dengan teknologi baru, terpaksa bekerja banyak dengan waktu yang lebih sempit, maupun harus mencerna informasi lebih banyak.
5. Techno-uncertainty (“Lah kayanya kemarin baru ganti aplikasi, sekarang ganti lagi?”)
Perubahan teknologi yang cepat bisa membuat karyawan tertekan karena mereka dituntut oleh perusahaan untuk cepat mempelajari dan beradaptasi dengan piranti lunak (software), piranti keras (hardware), dan teknologi baru lainnya. Apa yang sudah disiapkan karyawan untuk menunjang satu teknologi mungkin bisa jadi tidak relevan lagi setelah beberapa bulan ke depan, sehingga karyawan bisa merasa stres akibat ketidakpastian tersebut.