JAKARTA - Singapura dihebohkan dengan suatu fenomena anak SD yang tidak bisa menghitung uang tunai. Hal tersebut dipicu oleh penerapan teknologi yang semakin canggih, dimana metode pembayaran cashless digunakan dimana saja.
Melansir situs ricemedia, Minggu (26/5/2024), Pedagang kantin sekolah Singapura mengatakan ketika akan membayar makanan yang mereka beli, anak SD akan menyerahkan dompet mereka ke pedagang kantin untuk mengambil sejumlah uang yang dibutuhkannya, kemudian pedagang kantin akan menaruh kembalian di dompet anak tersebut.
“Tidak jarang murid-murid kelas satu sekolah dasar memberikan seluruh isi dompetnya kepada kami dan mengharapkan kami untuk mengeluarkan uangnya sendiri,” kata Mui seorang penjual kantin sekolah di daerah Barat.
Kasus yang sama juga disampaikan oleh Wei seorang penjual makanan di sebuah sekolah di Timur Laut. Murid-muridnya sering membayar dengan uang kertas, bukan dengan uang logam. Hal tersebut dilakukan anak-anak karena mereka tidak bisa menghitung uang logam.
“Dengan satu lembar uang kertas sudah cukup untuk membayar makanan mereka, dan anak-anak percaya bahwa ia akan memberikan kembalian yang sesuai. Para siswa tidak mau repot-repot menghitung berapa jumlah yang mereka terima, dan di situlah letak masalahnya,” sambung Wei.
Penerapan sistem cashless di berbagai tempat menjadi salah satu alasan anak-anak tidak mampu menghitung uang tunai. Anak-anak terbiasa melihat orang tuanya melakukan pembayaran dengan handphone ataupun kartu.
Selain itu, banyak sekolah di Singapura saat ini mulai menerapkan sistem cashless di kantin untuk mengikuti perkembangan zaman dan teknologi digital.
Hal ini sejalan dengan tujuan Singapura untuk memperkenalkan sistem Smart Buddy ke semua sekolah pada tahun 2025, agar tingkat adopsi pembayaran non-tunai di seluruh negeri terus meningkat.
Mui menyampaikan di sekolah tempatnya bekerja, sebagian besar siswa membayar makanan menggunakan sistem Smart Buddy, yang pada dasarnya adalah smartwatch - meet - e-wallet untuk para siswa. Dengan sekali ketuk dan pergi, para siswa dapat mengambil makanan mereka tanpa perlu menghitung uang.
Tentu saja, smartwatch mereka menampilkan saldo yang tersisa, tetapi hal tersebut tidak banyak membantu meniadakan efek tanpa uang tunai. Dengan ini kecenderungan manusia untuk berbelanja semakin meningkatkan, karena tidak ada uang fisik yang terlibat dalam transaksi.
Dengan demikian, fenomena ini tentu menimbulkan kecemasan terhadap anak-anak yang semakin tidak memahami value dari uang. Uang dianggap anak-anak hanya sebagai angka di rekening tanpa merasakan kekhawatiran saldo yang berkurang.
(Taufik Fajar)