JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menjabarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) usia muda yang mencapai angka 53 persen. Oleh karena itu, menarik untuk melihat bagaimana pandangan mahasiswa sebagai masyarakat usia muda dalam mengarungi pesta demokrasi sedang terjadi saat ini.
Untuk mengetahui hal tersebut, Praxis menggelar sebuah survei yang mengusung tajuk “Aspirasi dan Preferensi Mahasiswa pada Pemilu 2024” sebagai kelanjutan dari riset yang dilaksanakan pada April dan Agustus 2023. Survei dilakukan dengan pendekatan mixed method, menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif.
Survei ini dilaksanakan dalam rentang waktu 1 hingga 8 Januari 2024, dan melibatkan 1.001 responden mahasiswa. Metode pengambilan sampel survei ini berupa non probability sampling, Chain-referral sampling, dan snowball sampling, dengan margin of error kurang dari 3 persen pada tingkat kepercayaan sebesar 98 persen.
Dalam sebuah konferensi pers yang diadakan pada Senin (22/1/2024), Praxis mempresentasikan hasil survei mereka terhadap para mahasiswa terkait dengan pandangan mereka dalam pemilu ini.
Referensi Kandidat yang Jadi Pilihan Mahasiswa
Riset dari Praxis ini menunjukan bahwa latar belakang kandidat pemimpin menjadi poin pertimbangan yang dipikirkan oleh para mahasiswa.
Riset menunjukan bahwa kandidat dengan latar belakang politisi mendapatkan preferensi tertinggi dari mahasiswa (20,88 persen), sementara figur publik/selebriti adalah yang terendah (0,50 persen).
Meskipun selebriti atau tokoh publik dikenal luas oleh masyarakat, mahasiswa cenderung untuk lebih memilih calon pemimpin yang memiliki pengalaman di dunia politik.
Selain itu, mahasiswa juga turut menyoroti program prioritas dari para calon pemimpin. Dari hasil survei Praxis, terlifat 69,53 persen mahasiswa yang memilih pemimpin yang memikirkan isu pembangunan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan.
Dari hasil survei tersebut, dapat dikatakan bahwa para mahasiswa cenderung mengkhawatirkan isu-isu individual seperti ketersediaan lapangan kerja, hunian di masa depan, serta faktor pendapatan ekonomi.
Selain isu tersebut, Director of Public Affairs Praxis PR dan Wakil Ketua Umum Public Affairs Forum Indonesia (PAFI) Sofyan Herbowo juga mengatakan bahwa mahasiswa memprioritaskan program penanganan isu korupsi dan tata kelola pemerintahan.
“Mahasiswa menyuarakan bahwa korupsi ini adalah suatu hal penting untuk ditangani,” ujar Sofyan dalam pertemuan tersebut.
Oleh karena itu, terlihat adanya keselarasan antara isu yang disoroti oleh mahasiswa, dan kualitas utama calon pemimpin yang diharapkan oleh mahasiswa itu sendiri.
Survei menunjukan bahwa sebesar 84,22 persen mahasiswa mengharapkan pemimpin yang memiliki kualitas berupa kejujuran dan integritas, dan 72,83 persen mahasiswa yang berharap memiliki pemimpin yang dapat berpikir kritis serta memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah.
Mahasiswa Kritis dalam Memilih Sumber Informasi
Berikutnya, survei menunjukan jika iklan out of home (OOH) seperti baliho dan spanduk bukan menjadi sumber informasi utama mahasiswa dalam mengetahui gagasan dari para kandidat. Data menunjukan hanya sekitar 21,08 persen mahasiswa yang memiliki para kandidat berdasarkan melihat iklan OOH.
Model kampanye tersebut dinilai kurang efektif, karena mahasiswa cenderung untuk mendapatkan informasi seperti gagasan dari para kandidat dengan melihat media massa daring (66,43 persen), Instagram (50,65 persen), dan televisi (47,15 persen).
Melihat fenomena tersebut, Founder Malaka Project Ferry Irwandi menilai bahwa masih banyak pifak dari tim kampanye kandidat yang merasa bahwa metode kampanye menggunakan iklan OOH masif efektif.
“Mungkin, menurut mereka ini masih sangat efektif. Karena feel nya media sosial mereka tidak paham. Yang mereka tahu ya gini,” ungkap Ferry.
Mahasiswa dan masyarakat usia muda akan memainkan peran krusial dalam bagaimana negara ini akan berjalan dan berkembang, setidaknya selama lima tahun kedepan. Pilihan mereka akan menentukan bagaimana bangsa ini akan bergerak, sehingga menjadi penting untuk mengetahui sifat dan harapan mereka dalam sebuah pemilihan umum.
Oleh karena itu, mahasiswa dan generasi muda diharapkan untuk tetap memberikan suaranya dan tidak memilih golput dalam sebuah pesta demokrasi.
“Jangan golput, tetap harus memilih. Karena bagaimanapun, pemilu adalah kesempatan generasi muda untuk berpartisipasi dalam menentukan pemimpin yang paling dekat dengan preferensi politik mereka,” imbau Sofyan.
(Dani Jumadil Akhir)