JAKARTA – Air minum adalah kebutuhan pokok manusia, dan setiap harinya kita mengandalkannya untuk menjaga hidrasi dan kesehatan kita. Namun, tanpa pemantauan yang tepat, air yang kita konsumsi bisa saja mengandung bakteri berbahaya yang tak terlihat dengan mata telanjang. Dengan teknogi Artificial Intelligence (AI), peneliti bisa mendeteksi adanya bakteri dalam kandungan air minum.
Kontaminasi bakteri dalam air minum dapat mengancam kesehatan manusia, dan seringkali, deteksi dini adalah kunci untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh air yang terkontaminasi ini. Inilah di mana peran AI datang untuk beraksi.
Kecerdasan buatan memungkinkan kita untuk memanfaatkan teknologi canggih dalam mengidentifikasi bakteri dalam air dengan kecepatan dan akurasi yang luar biasa. Sebelumnya, pengujian air memerlukan waktu dan sumber daya yang signifikan, dan hasilnya mungkin baru diketahui setelah risiko terjadi. Dengan AI, kita dapat mendeteksi bakteri dalam hitungan detik, bukan jam atau bahkan hari.
Dilansir dari Science Times, Sabtu (2/9/2023) di AS, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) mengatur konsentrasi timbal dalam air kemasan, yang tidak boleh lebih dari lima bagian per miliar. Mendeteksi konsentrasi bakteri, logam berat, dan racun lainnya bagian per miliar atau bagian per juta hanya dapat dilakukan dengan menganalisis sampel air laboratorium.
Terdapat sensor yang dirancang untuk mengukur kontaminan dalam air, namun sensor tersebut memiliki masalah keandalan dan menunjukkan ketidakmampuan mendeteksi perangkat yang rusak. Sensor tersebut juga diharapkan sangat sensitif dalam menangkap konsentrasi racun yang dapat membahayakan kesehatan manusia.
BACA JUGA:
Perusahaan Rekrut Calon Karyawan Pakai Teknologi AI, Pencari Kerja Ketar-KetirSkrining Kontaminasi Air
Para peneliti dari Argonne National Laboratory, Pritzker School of Molecular Engineering di University of Chicago, dan University of Wisconsin-Milwaukee mengembangkan sensor yang mendeteksi timbal, merkuri, dan E.coli dalam air keran yang mengalir untuk mengatasi tantangan ini. Dipimpin oleh Profesor Junhong Chen, tim ini menciptakan inovasi yang dapat membantu menjaga kesehatan masyarakat dengan memberikan peringatan dini terhadap kontaminasi air.
Sensor tersebut mengandung lapisan atom karbon dan oksigen setebal satu nanometer dalam bentuk graphene, yang digunakan untuk melapisi substrat silikon. Lembaran oksida grafena semikonduktor adalah media antara elektroda sumber dan pembuangan dalam tran efek medan (FET). Setelah itu, lembaran graphene diendapkan pada wafer silikon dan dicetak dengan elektroda emas. Ini diikuti oleh lapisan isolasi aluminium oksida yang memisahkan elektroda gerbang dari saluran semikonduktor.
Molekul kimia dan biologis dilekatkan pada permukaan graphene dan dibiarkan berikatan dengan target yang diinginkan: bakteri E.coli, timbal, dan merkuri. Ketika kontaminan, bahkan dalam jumlah terkecil sekalipun, menempel pada permukaan graphene, material tersebut akan mengubah konduktivitasnya dengan besaran yang berkorelasi dengan konsentrasi racun.
BACA JUGA:
Menciptakan sensor dengan kinerja yang andal dan konsisten telah menjadi tantangan besar bagi para ahli karena lapisan isolasi aluminium oksida dapat memiliki kelemahan yang memerangkap muatan dan mempengaruhi kinerjanya. Untuk mengatasi masalah ini, Chen dan rekan-rekannya menggunakan proses non-intrusif dalam mendeteksi perangkat yang rusak. Saat sensor direndam dalam air, peneliti menganalisisnya menggunakan spektroskopi impedansi, dan arusnya diukur melalui perangkat. Hal ini memungkinkan para ilmuwan untuk mengidentifikasi cacat struktural yang ada pada aluminium oksida.
Tim peneliti juga telah merancang jalur untuk memproduksi sensor secara massal, yang masing-masing hanya akan menelan biaya USD 1. Ini akan memungkinkan orang untuk menguji air minum mereka di rumah untuk mengetahui adanya racun.
(Marieska Harya Virdhani)