Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Mahasiswa dan Kesehatan Mental: Pengalaman Depresi hingga Niat Bunuh Diri

Aurora Rafi Nafsa , Jurnalis-Senin, 06 Maret 2023 |13:33 WIB
Mahasiswa dan Kesehatan Mental: Pengalaman Depresi hingga Niat Bunuh Diri
Ilustrasi/Freepik
A
A
A

JAKARTA - Di bulan November 2022, masyarakat dikejutkan dengan berita yang memprihatinkan. Salah satu mahasiswa mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, ditemukan tewas karena gantung diri di kamar mandi sebuah rumah kosong di kawasan Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar.

Menurut informasi yang beredar, korban mengakhiri hidupnya karena tugas kampus yang begitu padat.

Di bulan yang lalu, tepatnya bulan Oktober 2022, kita juga mendapatkan kabar dari pemberitaan mengenai peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh salah satu mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM).

Korban ditemukan sudah tidak bernyawa lagi karena tejatuh dari salah satu Hotel Depok, Sleman, Yogyakarta. Penyebab kematiannya pun diduga karena bunuh diri.

Masih ada beberapa kasus serupa yang saya temukan di portal berita di tahun 2022 ini.

Tewasnya beberapa mahasiswa karena bunuh diri yang terjadi belakangan ini melahirkan sebuah pertanyaan.

Mengapa hal kasus ini terus terjadi? Apakah beban yang dibawa saat menjadi mahasiswa begitu berat hingga menyebabkan putus asa?

Mengingat banyak media massa yang membuat headline seakan masalah perkuliahan menjadi alasan utama seseorang bunuh diri. Benarkah demikian?

Mahasiswa dan Kesehatan Mental

Menurut banyak studi, gangguan kesehatan mental yang paling umum dialami oleh remaja yang didominasi oleh mahasiswa ini ialah axienty dan depresi.

Hal ini bisa dibenarkan, mengingat dunia perkuliahan yang kompleks dan berbeda dari masa sekolah.

Selain itu, sebuah studi dari American Academy of Family Physicans (AAFP) menyatakan bahwa gangguan stres pascatrauma (PTSD), gangguan tidur, dan kelaianan kebiasaan makan juga menjadi pendorong bunuh diri dalam lingkungan mahasiswa.

Menurut Hurlock, masa mahasiswa disebut sebagai masa settledown (pengaturan) menjadi dewasa sebenarnya atau masa transisi dari remaja ke masa dewasa.

Dalam fase pendewasaan ini, seringkali mahasiswa dipertemukan dengan berbagai masalah dalam kehidupan, mulai dari jauh dari keluarga, tuntutan nilai yang tinggi, masalah pertemanan, dan lain sebagainya.

Belum lagi memikirkan masalah keuangan untuk membayar UKT dan sewa kost yang terkadang membuat stress beberapa mahasiswa.

WHO (2018) mencatat setiap tahunnya ada lebih dari 800.000 orang meninggal akibat bunuh diri. Bunuh diri juga menjadi urutan kedua penyebab kematian pada remaja dalam rentang usia 15-19 tahun.

Depresi menjadi penyebab utama dari bunuh diri. Tentu saja fenomena bunuh diri ini tidak mungkin hanya disebabkan oleh sebuah alasan tunggal.

Ide bunuh diri muncul karena berbagai tekanan yang ada dan terus dipendam hingga individu menganggu kejiwaan seseorang.

Selain itu, perkembangan sosial media yang canggih juga bisa mempengaruhi mental seseorang.

Seringkali media sosial dipenuhi narasi kesuksesan orang lain di umur yang sangat muda, magang di perusahaan terkenal, gaji yang tinggi, hingga prestasi- prestasi luar biasa yang diraih.

Alih-alih menjadi motivasi agar lebih semangat, namun nyatanya banyak remaja yang malah merasa stress karena merasa tertinggal. Padahal, kehidupan bukanlah sesuatu yang bisa dibanding-bandingkan.

Stigma dan Empati

 

Tidak seperti kesehatan fisik, terkadang kesehatan mental yang di alami seseorang hanya diabaikan begitu saja.

Padahal, kondisi mental yang sehat merupakan salah satu kunci kesehatan badan seseorang. WHO menyebutkan bahwa generasi muda saat ini sentan terkena gangguan mental.

Namun sayangnya, meskipun layanan psikologi sudah cukup beredar di lingkungan masyarakat, masih banyak orang yang memiliki stigma negatif pada kesehatan mental.

Memiliki gangguan kesehatan mental seringkali diartikan sebagai ‘kurang iman’,’kurang bersyukur’,’gila’ dan lain sebagainya. Padahal, seseorang seharusnya paham bahwa kondisi mental seseorang pastinya berbeda.

Belum tentu apa yang mereka alami, kita mampu menghadapinya. Selain itu, menurut Psikolog Klinis, Deborah Offner, menyatakan kebanyakan orang masih malu ataupun segan meminta bantuan oranglain karena tuntutan lingkungannya yang menuntut ia harus menjadi pribadi ‘kuat’ atau ‘mandiri’.

Sejak tahun 2020, memang isu mengenai kesehatan mental sudah sangat ramai diperbincangkan di media sosial. Namun sayangnya, tidak sedikit orang, terutama remaja yang nampaknya terkena self diagnosis.

Padahal, diagnosa kesehatan mental sudah seharusnya didapatkan dari para ahli, bukan dengan menebak sendiri.

Maka dari itu, layanan kesehatan mental dalam kampus nyatanya memang sangat diperlukan. Meskipun dalam kenyataannya tidak semua kampus sudah memiliki layanan ini.

Tidak hanya kampus, tetapi pencegahan bunuh diri juga jadi tanggung jawab kita semua. Maka dari itu, janganlah sungkan untuk pergi ke ahlinya jika kita merasa memiliki gangguan kesehatan mental.

Kasus bunuh diri pada mahasiswa yang terjadi belakangan ini juga menjadi pengingat bagi kita, sudah semestinya kita lebih berempati serta tidak seenaknya menjudge seseorang atas gangguan mental yang dialaminya.

Jika belum mampu memberi saran yang bijak, cara paling sederhana ialah dengan mendengarkan keluh kesahnya, sehingga mereka tidak pernah merasa sendiri.

Aurora Rafi N Aktivis LPM SUAKA UIN SGD Bandung

(Natalia Bulan)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita edukasi lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement