‘Kemampuan kami betul-betul dipercaya’
Aris mengaku bahagia, bersemangat, sekaligus gugup ketika akhirnya memulai hari pertamanya sebagai mahasiswa.
Hal yang paling berkesan bagi Aris adalah bagaimana pihak kampus berupaya mengakomodasi kebutuhan Aris dan teman-temannya yang juga tunanetra.
Menurut Aris, bangunan dan fasilitas di kampusnya sebetulnya tidak dirancang ramah disabilitas.
Namun, kondisi itu tertutupi dengan pendampingan oleh unit pelayanan disabilitas dan bantuan para dosen hingga mahasiswa.
“Keberadaan kami disosialisasikan kepada dosen-dosen, diatur sedemikian rupa sehingga kami nyaman di sana, diperkenalkan dengan lingkungan kampus.
“Teman-teman sesama mahasiswa pun ternyata sangat aware, mau membantu kami. Mau kemana, naik apa, mereka menunggui kami.”
Penerimaan yang baik juga dirasakan oleh Aris dalam bidang akademis.
Beberapa kali rekan-rekan sekelasnya meminta diajarkan terkait pemrograman kepada Aris maupun temannya sesama tunanetra.
“Kami merasa kemampuan kami betul-betul dipercayai. Itu mengesankan sekali, artinya tunanetra dianggap mampu oleh masyarakat sudah teruji kemampuannya ketika ada di satu lingkungan yang sama,” jelas dia.
Namun dengan keterbatasannya untuk melihat, Aris mengakui kesulitan menjalani sejumlah mata kuliah yang membutuhkan kemampuan visual.
Misalnya ketika mempelajari graf terapan yang biasanya dijelaskan oleh dosen melalui pemetaan visual. Tetapi hambatan itu bisa diatasi dengan bantuan dari dosen yang mengajar.
“Setelah diskusi, pak dosen tersebut dapat dia untuk membuat gambar tiga dimensi yang bisa saya raba. Itu dikerjakan manual, beliau bawa styrofoam yang dipasangkan jarum pentul di tiap titiknya, lalu dipasang karet gelang sehingga saya bisa meraba alur gambar yang dimaksud,” kenang Aris.
Ada pula dosen yang rela mendatangi Aris dan teman-temannya sesama tunanetra untuk memberi pelajaran tambahan kalkulus di luar jam perkuliahan.
“Mudah-mudahan akan memotivasi yang lain, jika bertemu dengan disabilitas, tidak memandang ‘oh ini pasti enggak bisa’. Tapi coba dulu, bikin kami bisa dengan segala cara,” kata Aris.
Dengan kondisi buta total, Aris membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi salah satu lulusan terbaik (cumlaude) dengan IPK 3,59.
“Saya berhasil meraih gelar sajarna, sarjana komputer pula. Satu hal yang bagi sebagian besar masyarakat Indonesia adalah hal yang mustahil bagi disabilitas khususnya tunanetra untuk bisa menguasai itu,” ujarnya.
“Kalau ada yang tidak percaya tunanetra bisa IT, ini buktinya saya bisa lulus.”
Sayangnya, momen wisuda itu tidak disaksikan oleh kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia.
Tak terkendala pelajari bahasa pemrograman
Sebagai tunanetra, Aris mengatakan tidak memiliki kendala mempelajari bahasa pemrograman apa pun, sepanjang materi pembelajarannya bisa dia akses dengan baik.
Dia bisa menggunakan sejumlah bahasa pemrograman seperti Java, PHP, C++, Golang, Swift, dan lain-lain.
"Asal ada dokumentasi yang jelas, saya bisa beradaptasi dengan cepat," kata Aris.
Di sisi lain, dia mengakui kekurangannya dalam mengembangkan tampilan visual dari sebuah aplikasi.
"Kalau (mengembangkan) aplikasinya saja oke. Tapi visual seadanya, sesuai perkiraan saya. Kalau dipaksa membuat animasi, tertarik, barangkali bisa dengan tim. Kalau sendiri, saya tidak sanggup," ujarnya.
"Saya akan lebih memilih [melakukan] bahasa pemrograman yang ada hubungannya dengan web, seperti PHP misalnya, yang ada hubungannya dengan back end [sistem di balik layar]."
Aplikasi untuk tunanetra
Pengalamannya bekerja sebagai pustakawan sekaligus pemrogram tunanetra menginspirasi Aris mengembangkan aplikasi pembaca kode batang yang ramah tunanetra sebagai skripsinya.
Inspirasi itu juga datang setelah Aris menyaksikan seorang pustakawan tunanetra di Perpustakaan Nasional yang hanya ditugaskan untuk mengecek kelayakan buku-buku brailee.
Sedangkan pekerjaan melayani pengunjung untuk memindai kode batang dan kartu anggota dilakukan oleh petugas lainnya yang nondisabilitas.
Itu terjadi karena belum ada sistem yang bisa mendukung pustakawan tunanetra untuk melakukan tugas-tugas lainnya.
”Akhirnya saya temukan solusinya, barang kali membuat aplikasi yang mendeteksi barcode lalu disuarakan lewat fitur text to speech,” jelas Aris.
Dengan kehadiran bantuan teknologi semacam itu, Aris meyakini bahwa penyandang disabilitas khususnya tunanetra bisa lebih berdaya.
Sayangnya, aplikasi tersebut belum digunakan secara resmi di Perpustakaan Nasional.
Namun, Aris bermimpi agar suatu hari nanti seluruh aplikasi di Indonesia bisa ramah disabilitas.
”Mudah-mudahan saya bisa membantu teman-teman disabilitas dalam hal ini, mengkampanyekan kepada para perusahaan yang bergerak di bidang jasa, teknologi komunikasi dan informasi untuk bisa membuat produk-produknya ramah disabilitas,” kata dia.
Dunia pendidikan dan industri belum inklusif
Sayangnya, menurut Ketua Pertuni Aria Indrawati, sebagian besar tunanetra di Indonesia masih kesulitan mengakses pendidikan tinggi dan dunia kerja sektor formal.
Aria mengatakan banyak pihak yang berpikir bahwa pendidikan luar biasa (PLB) adalah jawaban bagi penyandang disabilitas. Seharusnya, lanjut dia, yang dibangun adalah pendidikan yang inklusif.
“SLB itu porsi akademiknya cuma 40%. Selebihnya keterampilan yang enggak bisa dipasarkan,” kata Aria kepada BBC News Indonesia.
”Kalau tunanetra tidak ada hambatan intelektual seharusnya sekolahnya di sekolah reguler dengan system pendidikan inklusif, bukan di SLB. Tapi yang punya pemikiran seperti itu hanya segelintir orang. Pemerintah bahkan belum membangun sistem pendukungnya.”
Hal itu terlihat dari masih sedikitnya kampus di Indonesia yang telah membentuk unit layanan disabilitas.
”Dengan adanya kisah seperti Aris ini kami harap yang lain bisa mencontoh, membuka diri, memfasilitasi pendidikan yang inklusif. Selama ini pemerintah itu under estimate tunanetra yang tidak punya hambatan kecerdasam,” kata dia.
BBC News Indonesia telah menghubungi Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Nizam, untuk meminta tanggapan terkait ini. Namun belum ada respons sampai berita ini ditulis.
Belum lagi peluang bekerja di sektor formal yang minim. Padahal menurut Aria, telah banyak contoh bagaimana pemberi kerja bisa mengakomodasi kebutuhan khusus tunanetra sehingga bisa bekerja sesuai porsinya.
Pemerintah sendiri melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dimandatkan untuk memenuhi kuota kerja 2% di sektor pemerintah dan 1% di sektor swasta.
Namun Pengantar Kerja Ahli Madya Kementerian Tenaga Kerja, Amanda Yulina Putri Rahayu mengaku bahwa target itu sampai saat ini belum juga terpenuhi. Bahkan belum seluruh Dinas Tenaga Kerja di Indonesia memiliki unit pelayanan disabilitas.
Kepada BBC News Indonesia, Amanda mengatakan pemerintah akan terus berupaya agar target itu terpenuhi.
Sementara itu dengan gelar sarjana di genggamannya, Aris kini menyimpan keinginan untuk melanjutkan studi ke jenjang S2 di negara-negara yang menjadi kiblat teknologi informatika.
Terbesit pula keinginan untuk bisa masuk ke dunia industri. Sayangnya, dengan usia yang sudah mencapai 37 tahun, Aris mengaku pesimistis akan peluang itu.
Situasinya mungkin akan berbeda apabila Aris tidak perlu menunggu sampai 10 tahun untuk bisa mengecap pendidikan tinggi hanya karena dia adalah seorang tunanetra.
Aris juga bukan satu-satunya penyandang disabilitas yang harus menelan kenyataan pahit itu.
Bagi Aris, kisahnya diharapkan menjadi pembuka agar lebih banyak tunanetra mendapat kesempatan yang setara untuk menempuh pendidikan tinggi hingga berkarir.
"[Ini] pembuktian bahwa tunanetra mampu bila diberi ruang dan kesempatan."
"Semoga tidak ada lagi anggapan bahwa ‘oh ini tidak dapat dikerjakan tunanetra, oh ini tunanetra enggak bisa lah mengerjakan ini’. Tidak ada lagi seperti itu, karena sekarang kemampuan tunanetra itu sudah maju pesat," pungkasnya.
(Natalia Bulan)