Oleh sebab itu, Aris ingin murid-muridnya memiliki keterampilan, terutama di bidang TIK, yang bisa menjadi bekal.
"Ditambah lagi persaingan ke depan itu sangat ketat, kalau siswa-siswi saya malas belajar hal yang baru, nanti mereka akan kalah," tuturnya.
Di ruang perpustakaan yang sama, Aris dulunya bekerja sebagai pemustaka selama bertahun-tahun untuk menyambung hidup sambil berkuliah.
Baru setelah diwisuda pada pertengahan Juli lalu, Aris akhirnya diangkat menjadi pengajar komputer di SLB Pembina Tingkat Nasional.
Sedangkan di luar jam mengajar, Aris menghabiskan waktunya dengan mengembangkan aplikasi yang dapat mendukung kebutuhannya.
Salah satunya, aplikasi yang dia gunakan secara pribadi untuk membantunya menghafal kosa kata dalam bahasa Inggris.
"Saya sedang punya target untuk mengejar beasiswa ke luar negeri, tapi saya ada kelemahan (berbahasa Inggris), sehingga saya harus cari solusinya untuk diri sendiri," ceritanya.
Memaksimalkan pendengaran
Aris kehilangan penglihatannya pada usia enam tahun akibat penyakit glukoma.
Ketika berusia 11 tahun, Aris untuk pertama kalinya berkenalan dengan perangkat komputer yang dirancang khusus untuk tunanetra bernama Eureka.
Komputer itu tidak memiliki layar dan beroperasi berbasis suara.
Namun setelah itu, Aris juga mempelajari komputer yang umum digunakan masyarakat secara otodidak.
Ketertarikannya dengan dunia informatika kian dalam, sehingga Aris memutuskan untuk fokus di bidang ini.
“Saat itu saya berpikir tunanetra yang jago musik sudah banyak, ahli massage juga sudah banyak, tapi yang bisa memprogram komputer pada masa saya belum ada di Indonesia setahu saya. Itu yang menantang saya. Saya mau fokus di sini saja, yang belum ada,” tuturnya.
Sepanjang hidupnya, Aris sudah kenyang menghadapi ketidakpercayaan orang-orang bahwa seorang tunanetra dengan kondisi buta total bisa menjadi seorang pemrogram.
Faktanya, Aris fasih mengoperasikan komputer yang umum digunakan dengan bantuan aplikasi pembaca layar (screen reader).
"Untuk tunanetra, kita fokusnya memaksimalkan salah satunya pendengaran, dengan konsentrasi mendengar, kita bisa melakukan pemrograman," jelas Aris.
Aplikasi pembaca layar akan menerima komando dari pengguna melalui navigasi papan ketuk (keyboard).
Meski tidak bisa melihat, Aris telah hafal letak tombol-tombol yang dia perlukan untuk memberi perintah pada aplikasi pembaca layar itu.
Setelah itu, apa yang muncul di layar akan disuarakan oleh aplikasi tersebut.
“Itu saja yang membedakan, dengan software pembaca layar kami jadi bisa menggunakan laptop layaknya masyarakat non-disabilitas,” kata Aris.
Bahkan ketika SMA, Aris bersama teman-temannya berhasil membuat sebuah situs yang menurut dia “cukup ramai dikunjungi pengguna internet pada masa itu”.
Keberhasilan itu semakin mendorong Aris untuk mengejar cita-citanya menjadi seorang pemrogram.
Penantian 10 tahun
Butuh waktu 10 tahun bagi Aris untuk akhirnya bisa berkuliah di jurusan impiannya.
Begitu lulus SMA pada 2007, Aris ingin langsung melanjutkan pendidikan ke jurusan Teknik Informatika.
Tetapi pada saat itu, kampus-kampus di Indonesia yang menyediakan program studi tersebut “belum siap” menerima mahasiswa tunanetra.
“Itu saya alami sendiri. Rasanya campur aduk, sedih ada, kecewa juga, merasa apa yang saya pelajari selama ini kok tidak diakui, secara akademis saya ditolak,” tutur Aris.
Aris akhirnya memutuskan mencari pekerjaan untuk menyambung hidup.
Dia pernah menjadi pekerja telemarketing, bergabung dengan forum-forum informatika, hingga diminta menjadi salah satu pengajar komputer berbicara untuk tunanetra se-Asia Pasifik.
Namun keinginan Aris untuk berkuliah tidak padam.
Pada satu titik, dia sempat menyerah pada mimpinya dan memutuskan akan berkuliah mengambil jurusan Sastra Inggris yang dianggap “lebih ramah” untuk penyandang disabilitas.
“Waktu itu saya berpikir daripada saya tidak kuliah, mending saya kuliah ini [Sastra Inggris] saja,” ucapnya.
Di tengah keputusasaan itu, kabar baik akhirnya datang. Pada 2017, Aris diberi tahu bahwa Universitas Pamulang menerima mahasiswa tunanetra di program studi Teknik Informatika.
Aris masih ingat betul betapa bahagianya dia mendengar kabar itu. “Saya sampai lompat-lompat di kamar, betul-betul gembira,” kata dia.
Akhirnya, 10 tahun setelah dia lulus SMA, Aris bisa menginjakkan kaki di program studi impiannya.