Stigma sosial?
Kebanyakan ahli kesehatan mental sepakat bahwa berbagai tabu yang menyelimuti penyakit depresi dan kegelisahan mulai luntur di Finlandia, terutama semenjak adanya gerakan nasional antibunuh diri. Hal itu mendorong lebih banyak orang mencari pertolongan, yang ironisnya justru mempersulit upaya untuk membandingkan angka depresi dari tahun ke tahun di semua kelompok umur.
Namun banyak muda-mudi Finlandia yang pernah mengalami depresi, termasuk Kirsi-Marja Moberg, meyakini bahwa masih ada stigma yang melekat pada orang "yang diketahui sebagai orang depresi".
"Tergantung lingkaran sosial di mana orang itu tinggal, atau, mungkin jika Anda tinggal di Finlandia, betapa bebasnya orang membicarakan masalah ini… maka tabu itu masih ada di sana," katanya.
Sementara itu, dalam budaya di mana privasi amat dihargai, emosi yang ditunjukkan secara terang-terangan adalah sesuatu yang langka, bahkan basa-basi pun biasanya hanya seperlunya saja, diskusi serta pengakuan atas masalah depresi tetap menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi warga Finlandia yang menderita penyakit mental tersebut.
"Ini bukan cuma masalah stereotip," kata Jonne Juntura, mengomentari reputasi orang Finlandia yang irit dalam berkomunikasi.
Jonne, yang kini menangani pasien depresi, mengatakan bahwa pemuda di Finlandia sulit mengutarakan masalah yang sedang mereka lalui.
"Masalah kesehatan jiwa masih dikaitkan dengan anggapan lemah, dan dalam budaya maskulin, beberapa orang enggan mengatakan bahwa mereka tengah merasa sangat buruk."
Mendapatkan bantuan
Dalam hal mencari bantuan untuk masalah depresi, pemerintah kota bertanggung jawab menyediakan layanan kesehatan mental yang mendapat banyak subsidi dari pajak.
Artinya, seperti di negara-negara Nordik lain yang memiliki sistem kesejahteraan sosial kuat, siapapun yang tengah mengalami masalah kesehatan jiwa tidak seharusnya sulit mendapatkan bantuan.
Warga di negara-negara itu pun tidak semestinya tak mampu secara finansial untuk membiayai penanganan medis itu.
Meski demikian, dalam beberapa tahun terakhir muncul perdebatan politik terkait daftar tunggu yang panjang layanan kesehatan mental di kota-kota besar, akses untuk mendapatkan penanganan bagi pasien di kawasan-kawasan terpencil, dan mengelola perawatan untuk remaja seiring beralih ke masa dewasa.
"Sangat sulit untuk mendapat bantuan kesehatan mental dengan cepat... mungkin harus berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Dan dalam situasi krisis, itu terlalu lama," kata Emmi Kuosmanen, yang menangani para siswa remaja di sebuah SMA di Helsinki.
"Saya rasa kebutuhannya sudah meningkat... tetapi layanan kesehatannya tidak bisa mengejar itu."
Psikolog dari Mental Health Finland, Juho Mertanen, sepakat bahwa intervensi lebih awal sangatlah krusial untuk proses pemulihan, terutama di kalangan anak muda yang menghadapi gejala-gejala depresi untuk pertama kalinya.
"Dalam hal kesehatan mental, biasanya jika Anda tidak cepat mendapat pertolongan, maka proses semacam 'menggali lebih dalam' (masalah itu) menjadi lama," ujarnya.
Perangkat yang semakin populer belakangan adalah platform online bernama Mental Health Hub, yang dibuat oleh Profesor Grigori Joffe dan Dr Matti Holi dari rumah sakit Helsinki University Central.