JAKARTA - Mahasiswi S3, School of Communication Studies, Auckland University of Technology Aprilina Prastari membagikan pengalaman puasa di Selandia Baru. Kondisinya berbeda saat dirinya tinggal di Bekasi.
Selama tinggal di Bekasi dari tahun 2006, satu hal yang saya khawatirkan saat Ramadhan tiba adalah petasan. Ya, meski sudah dilarang, tapi tetap saja masih ada pedagang petasan dan sayangnya dibeli oleh anak-anak.
Alhamdulillah tahun ini, saya tidak perlu khawatir lagi karena tidak akan ada petasan pada Ramadhan 2025. Yeay! Alhamdulillah. Itu karena saya sekarang berada di Auckland, New Zealand (Selandia Baru).
Bukan hanya tidak lagi mendengar petasan tapi juga azan yang bersahut-sahutan dari masjid, pemandangan penjual takjil yang berjejer di depan kompleks dan sekumpulan ibu dengan atasan mukena yang berangkat ke masjid untuk tarawih. Di satu sisi, saya senang tidak lagi mendengar petasan, tapi di sisi lain, saya rindu suasana Ramadan di Indonesia.
Ramadhan hari pertama di Auckland jatuh pada Ahad, 2 Maret 2025. Hari pertama puasa, subuh sekitar pukul 5.35 dan maghrib 8.04 malam. Jadi kalau dihitung, kami puasa kurang lebih sekitar 14,5 jam, lebih panjang dibanding di Indonesia.
Meski lebih panjang, alhamdulillah, tidak terasa. Setidaknya ini yang saya rasakan. Mungkin karena cuaca yang bersahabat meski seringkali angin kencang dan cenderung dingin karena mulai masuk peralihan musim dari musim panas ke musim gugur. Ditambah kesibukan sebagai mahasiswa dan co-lecturer di kampus saya, Auckland University of Technology (AUT).
Suasana Ramadhan tidak terlalu terlihat di Auckland, khususnya di kota, tempat saya tinggal. Kalau di Indonesia, menjelang Ramadhan, perkantoran, apalagi pusat perbelanjaan, pernak-pernik Ramadhan dipasang di mana-mana.
Di Auckland, pernak pernik Ramadhan sejauh pengamatan saya hanya terlihat di masjid, sekolah Islam, dan tempat yang dimiliki muslim. Meski di fakultas saya sendiri, Faculty of Design and Creative Technologies bekerja sama dengan AUT Muslim Students Association (AUT MSA) menyelenggarakan acara sederhana untuk mahasiswa muslim dengan saling memberikan kalimat penyemangat dan hadiah kecil bagi yang berpuasa. Namun tidak ada pernak-pernik Ramadhan di kampus maupun pusat perbelanjaan.
Untuk salat, berhubung di AUT ada masjid (prayer hall) sehingga sangat memudahkan para mahasiswa muslim untuk beribadah. Meskipun, dengan kondisi waktu isya sekitar pukul 9.00 malam (bahkan awal Ramadan pukul 9.30) seringkali saya harus salat tarawih sendiri di apartemen. Maunya sih, bisa jamaah, tapi pulang terlalu malam, meski jaraknya bisa ditempuh 15-20 menit dengan jalan kaki, sedikit mengkhawatirkan karena kondisi jalan yang sepi.
Untuk tempat salat, selain di AUT, di kampus lain seperti University of Auckland juga ada ruang untuk salat. Meski masjid besar yang berada di tengah pusat kota masih diupayakan. Untuk itu, saat ini Auckland City Islamic Center bekerja sama dengan Al Hikmah Trust dan lembaga dan komunitas Islam sedang melakukan penggalangan dana untuk membangun masjid di daerah pusat kota Auckland.
Serunya Buka Bersama
Ketika tiba di Auckland pada akhir Januari 2025, saya sudah menyiapkan diri bahwa nanti akan berpuasa jauh dari rumah. Namun tetap saja, banyak hal yang saya rindukan dari melaksanakan ibadah Ramadan di Indonesia. Salah satunya, takjil! Sebetulnya bisa sih buat sendiri meski bahannya tidak selengkap di Indonesia. Cuma agak repot ya, apalagi kalau tinggal sendiri. Maka kalau ada buka bersama dengan warga Indonesia di Auckland, sayang kalau dilewatkan.
Salah satu kegiatan buka bersama yang rutin dilakukan tiap pekan diselenggarakan oleh HUMIA (Himpunan Muslim Indonesia Auckland) bekerjasama dengan PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Auckland, di Mt Roskill Memorial Hall, Auckland. Untuk anak kos seperti saya, bahagia bisa makan bersama dengan menu masakan yang biasa kita temui di Indonesia. Melihat Ibu-ibu di HUMIA masak, datang membawa makanan, rasanya ingat acara pengajian di Indonesia.
Memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan, dengan banyak peristiwa terjadi di Indonesia dan juga Palestina, semoga bisa meningkatkan ibadah dan takwa kita kepada Allah Swt. Bersyukurlah masih bisa merasakan Ramadan di Indonesia, dengan segala makanan yang melimpah, tempat ibadah yang nyaman karena kita tidak tahu Ramadan tahun depan kita akan berada di mana. Akankah masih diberikan umur panjang, tinggal di Indonesia sambil menikmati aneka takjil ataukah di negara minoritas muslim yang susah menemukan kolak pisang dan sate padang.
Penulis: Aprilina Prastari (Mahasiswi S3, School of Communication Studies, Auckland University of Technology)
(Dani Jumadil Akhir)