Acara kemudian dilanjutkan dengan diskusi bersama ketiga narasumber. Materi pertama disampaikan oleh Dr. Tri Wuryaningsih, M.Si, Ketua Satgas PPKS Unsoed dengan judul Menjembatani Konflik Kepentingan Antar Aktor dalam Penanganan Kekerasan Seksual untuk Kepentingan Terbaik Bagi Korban.
Dalam materi ini, Dr. Tri menekankan pentingnya langkah pencegahan yang berorientasi pada korban kekerasan seksual. Hal ini menurutnya, memerlukan komitmen dari pimpinan universitas. Ia pun menyebutkan langkah-langkah yang dapat dilakukan universitas dalam menjembatani kasus kekerasan seksual tersebut.
“Butuh komitmen dari pimpinan universitas, tidak hanya Satgas PPKS. Apa yang harus dilakukan? Penguatan internal perguruan tinggi dan Satgas PPKS dan meminta dukungan petinggi perguruan tinggi, BEM dan Ormawa lain, kemudian komunikasi dengan kemendikbudrsitek, serta pihak eksternal seperti media dan LSM,” jelas Dr. Tri.
Selanjutnya, materi kedua disampaikan oleh Indriyati Suparno, S.H, Ketua Yayasan SPEK-HAM dengan judul Mendorong Partisipasi dan Transparansi Publik dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan tinggi.
Indriyati menyampaikan bahwa definisi batasan kekerasan seksual paling komprehensif dapat dilihat dari Permendikbudristek No. 30/2021. Dari definisi tersebut, Indriyati menyebut bahwa unsur-unsur dari definisi tersebut dapat dibedah untuk dijadikan acuan dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Ia juga menegaskan bahwa tidak ada toleransi untuk kasus kekerasan seksual, dan mengajak seluruh sivitas akademika untuk berpartisipasi aktif dalam membantu Satgas PPKS.
“Ada kehormatan harkat martabat. Sivitas akademika harusnya bergerak lebih masif. Untuk mengefektifkan Sat gas tidak cukup dibentuk SK dan SOP. Kalau disusunnya bersama, maka hampir 50 persen dari mekanisme yang dibangun sudah dipahami komponen kampus,” terang Indriyati. Ia lantas menambahkan pentingnya transparansi yang dilakukan oleh satgas PPKS. “Transparansi untuk membangun kepercayaan komponen-komponen kampus. Dari pembentukan satgas, penyusunan SOP, keterbukaan informasi terkait kerja sama atau dukungan dana, proses penanganan kasus, umpan balik eval dari pemangku kepentingan dan kelompok strategis,” imbuhnya.
Terakhir, materi yang berjudul Membentuk Budaya Organisasi Universitas Responsif terhadap Kekerasan Seksual disampaikan oleh Prof. Dr. Ismi Astuti Nurhaeni, M.Si, selaku Ketua Satgas PPKS UNS. Prof. Ismi menyebutkan tiga alasan budaya organisasi di universitas terkait kasus kekerasan seksual harus berubah, yakni karena Indonesia yang sedang darurat kekerasan seksual, adanya tantangan mematuhi regulasi dan panduan, serta budaya organisasi yang cenderung male bias.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)