Di bidang pers, Ruhana mendirikan surat kabar Soenting Melajoe sebagai wadah bagi kaum perempuan untuk menuangkan pemikiran, pada awal 1900-an.
Perempuan asal Koto Gadang, Sumatera Barat yang lahir 20 Desember 1884 ini merupakan anak dari pasangan Muhammad Rasyad Maharadja Soetan dan Kiam.
Meskipun tidak bersekolah di sekolah formal, Ruhana sudah gemar membaca, menulis karena pengaruh pekerjaan orang tuanya sejak kecil.
Ruhana kecil gemar membaca buku, majalah, dan surat kabar anak-anak dan membagikannya ke orang-orang yang sedang berkumpul.
Ruhana Kuddus meninggal dunia pada 17 Agustus 1972 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak.
Tokoh pers perempuan pertama ini kemudian ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 8 November 2019 lalu.
2. Herawati Diah
Siti Latifah Herawati Diah adalah jurnalis perempuan Indonesia yang lahir pada 3 April 1917 di Tanjung Pandan.
Herawati mengawali karier jurnalistik sebagai stringer di United Press International (UPI), sebuah kantor berita di Amerika Serikat saat usia 22 tahun.
Sebagai tokoh pers, ia telah mendirikan beberapa surat kabar harian, di antaranya adalah harian Merdeka, majalah Keluarga, dan majalah berita Topik.
Pada 1955, ia menerbitkan surat kabar berbahasa Inggris pertama di Indonesia, yaitu The Indonesian Observer.
Istri dari tokoh pers BM Diah ini juga kerap aktif membela hak-hak perempuan dan menyuarakan isu kesetaraan gender di Indonesia.
Salah satu upaya emansipasi perempuan yang ia lakukan adalah dengan mendirikan Komnas Perempuan, Lingkar Budaya Indonesia, dan Gerakan Perempuan Sadar Pemilu.
Herawati Diah meninggal dunia pada 30 September 2016 saat berusia 99 tahun. Ia menerima Lifetime Achievement Award dari Persatuan Wartawan Indonesia atas jasa dan dedikasinya pada dunia jurnalistik.
3. Rasuna Said
Rasuna Said merupakan perempuan Minang yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Atas jasanya, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah. Rasuna Said juga memperjuangkan hak-hak emansipasi wanita.
Dikenal dengan tulisannya yang tajam, ia menjadi pemimpin redaksi di sebuah majalah harian yang bernama Raya.
Rasuna kemudian mendirikan perguruan khusus perempuan dan membuat surat kabar Menara Poetri untuk menyalurkan ide-idenya pada 1935.
Rasuna disebut-sebut sebagai wanita Indonesia pertama yang dipenjara karena ujaran kebencian, karena ia sering berpidato menentang pemerintah kolonial Belanda dan politik praktis di Indonesia pada masa kolonial.
Rasuna Said meninggal dunia pada 2 November 1965 akibat menderita kanker darah dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.