SURABAYA - Citayam Fashion Week menjadi julukan bagi kumpulan remaja yang berpakaian modis dengan gaya street-styel di seputaran Jalan Sudirman, Dukuh Atas, Jakarta Pusat.
Fenomena ini pun mendapatkan banyak tanggapan dan respons dari berbagai pihak. Salah satunya adalah pakar Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Profesor Dra Rachmah Ida M.Com PhD.
Dikutip dari laman Unair, Profesor Ida menilai bahwa fenomena ini merupakan sebuah contoh ketika anak muda tidak mendapat ruang oleh budaya mainstream yang sering dikuasai oleh mereka yang punya debut.
“Mereka melihat area tersebut merupakan ruang publik baru yang selama ini tidak mereka dapatkan di media massa atau ruang publik yang terlalu elit,” sebutnya.
Dekonstruksi Tren Fashion
Tren busana yang selama ini disetir oleh kalangan menengah ke atas berusaha diubah oleh fenomena ini.
“Mereka mencoba melakukan dekonstruksi terhadap barang-barang fashion yang tidak dapat dijangkau oleh orang-orang di jalan dengan menyajikan fashion jalanan yang tidak kalah menariknya dengan fashion yang biasa dinikmati oleh kalangan middle-upper class,” jelas guru besar pertama bidang media di Indonesia itu.
Menurut Profesor Ida, busana yang dipakai kumpulan remaja di Citayam itu mengartikulasikan kreativitas dalam berpakaian keren tanpa adanya merek-merek ternama dan elit.
“Mereka ingin mengkomunikasikan bahwa ini adalah urban street fashion yang selama ini termarjinalkan, tidak diperhatikan, dan mungkin bahkan tidak mampu diakomodasi oleh media populer karena dianggap tidak laku,” ungkapnya.
Bila dilihat dari tampilan, gaya yang ditunjukan di CFW cenderung unik dan berbeda.
Menurut Prof Ida, hal itu merupakan bentuk dari liberated young people. Yakni, keinginan anak muda untuk membebaskan diri dari kungkungan kapitalisme melalui busana.
Medium TikTok sebagai Pemicu
Diakui Profesor Ida, keberadaan media sosial TikTok dapat mendorong munculnya subkultur baru.
“TikTok menjadi media sosial gratis yang diminati, termasuk pada middle-lower class. Sehingga subkultur yang selama ini termarjinalkan, tidak ada tempat, bisa menjadi bermunculan,” sebutnya.
Keberanian kelompok remaja di CFW menunjukan eksistensi lewat busana, dipuji Profesor Ida sebagai sebuah keberanian mengutarakan kebebasan berpakaian.
“Selama ini, secara tidak sadar busana telah dikotak-kotakan. Ini busana identitas desa, identitas kota, dan sebagainya,” ucap dosen Ilmu Komunikasi UNAIR tersebut.
Kemunculan fenomena CFW dimaknai Prof Ida sebagai kemunculan subkultur yang harus bisa diterima.
“Jangan hanya budaya yang dimiliki oleh kaum elit saja yang diterima, namun budaya yang lain juga punya kesempatan untuk menunjukan eksistensi identitas mereka,” jelasnya.
(Natalia Bulan)