Menurut Profesor Ida, busana yang dipakai kumpulan remaja di Citayam itu mengartikulasikan kreativitas dalam berpakaian keren tanpa adanya merek-merek ternama dan elit.
“Mereka ingin mengkomunikasikan bahwa ini adalah urban street fashion yang selama ini termarjinalkan, tidak diperhatikan, dan mungkin bahkan tidak mampu diakomodasi oleh media populer karena dianggap tidak laku,” ungkapnya.
Bila dilihat dari tampilan, gaya yang ditunjukan di CFW cenderung unik dan berbeda.
Menurut Prof Ida, hal itu merupakan bentuk dari liberated young people. Yakni, keinginan anak muda untuk membebaskan diri dari kungkungan kapitalisme melalui busana.
Medium TikTok sebagai Pemicu
Diakui Profesor Ida, keberadaan media sosial TikTok dapat mendorong munculnya subkultur baru.
“TikTok menjadi media sosial gratis yang diminati, termasuk pada middle-lower class. Sehingga subkultur yang selama ini termarjinalkan, tidak ada tempat, bisa menjadi bermunculan,” sebutnya.
Keberanian kelompok remaja di CFW menunjukan eksistensi lewat busana, dipuji Profesor Ida sebagai sebuah keberanian mengutarakan kebebasan berpakaian.
“Selama ini, secara tidak sadar busana telah dikotak-kotakan. Ini busana identitas desa, identitas kota, dan sebagainya,” ucap dosen Ilmu Komunikasi UNAIR tersebut.