"Terakhir, Buku Sejarah Nasional Indonesia disusun pada 1970-an oleh tim di bawah pimpinan Prof. Soekanto, sementara karya Indonesia dalam Arus Sejarah yang terbit pada 2012 belum mencakup perkembangan politik dan sosial dari era BJ Habibie hingga Joko Widodo," katanya.
Selain ketertinggalan pembaruan, perspektif penulisan sejarah juga masih dipengaruhi sudut pandang kolonial. “Kita perlu menggeser cara pandang tersebut ke arah yang lebih Indonesia-sentris,” ujarnya. Ia mencontohkan bagaimana Belanda menyebut agresi militer mereka sebagai “aksi polisionil”, sementara bagi bangsa Indonesia, itu jelas merupakan bentuk penjajahan.
Menbud menjelaskan, menulis sejarah tidak hanya soal pencatatan peristiwa, tetapi juga bagian penting dari membangun identitas nasional.
Dalam konteks ini, muncul seruan untuk melakukan re-inventing Indonesian identity, menemukan kembali jati diri bangsa melalui narasi sejarah yang berpijak pada pengalaman dan karakter Indonesia sendiri.
“Sudah saatnya kita menulis ulang sejarah Indonesia, bukan hanya sebagai catatan, tapi sebagai landasan untuk membentuk generasi yang memahami siapa dirinya dan ke mana bangsanya akan menuju," ucap Menbud.
Ketua Umum P3SI, Zulkarnain, dalam pidatonya menekankan bahwa forum ini merupakan sarana penting untuk membangun komunikasi dan kerja sama antar program studi pendidikan sejarah.