JAKARTA - Prof Komarudin Hidayat menyampaikan orasi ilmiah dalam Dies ke-27 Universitas Paramadina. Menurutnya, setiap zaman melahirkan pemimpin dan setiap pemimpin mempengaruhi zamannya yang pada urutannya menggerakkan dan mengarahkan jalannya sebuah bangsa.
Menurutnya, mimpi besar masing-masing generasi dan pemimpin bangsa ini memiliki kesinambungan. Dirinya pun memulai analisis dengan membaca mimpi-mimpi zaman yang mengemuka pada setiap generasi yang berselang sekitar 20-25 tahun, dengan asumsi pada usia 25 tahun seseorang sudah dewasa dan memiliki idealisme tinggi. Pada 1908 organisasi Budi Utomo yang didirikan oleh Dr.Soetomo (20 tahun) menyuarakan aspirasi zamannya agar pribumi meningkatkan pendidikan dan memperjuangkan kesetaraan sosial-ekonomi dengan bangsa kolonial.
"Meskipun awalnya bersifat elitis, mimpi Budi Utomo ini beresonansi menjadi tonggak kebangkitan nasional Indonesia dan menginspirasi gerakan masyarakat untuk berani bermimpi memperjuangkan kemerdekaan bangsa," katanya, Jumat (10/1/2024).
Kemudian mimpi Budi Utomo disambut oleh generasi 1928 yang menggaungkan ikrar Sumpah Pemuda untuk memperjuangkan persatuan, kebangsaan, dan kemerdekaan Indonesia.
"Mereka merajut keragaman suku menjadi satu identitas keindonesiaan. Mereka yakin hanya dengan pendidikan yang bagus dan persatuan yang solid bangsa ini akan berdaulat dan disegani dunia," ujarnya.
Dalam gerakan ini ada Muhammad Yamin (25 th), Wage Rudolf Supratman (25 th), Soegondo Djojopoespito (23 th), Amir Syarifuddin Harahap (21 th), Kartosuwiryo ( 23 th) Johannes Leimina (23 th) dan kawan-kawan lainnya yang telah menancapkan tonggak sejarah yang menjadi fondasi dan arah bagi perjuangan menuju Proklamasi 1945.
Tanggal 17 Agustus 1945 pun merupakan tonggak historis-politis menandai lahirnya sebuah Negara Republik Indonesia yang benih dan bibitnya sudah disemai oleh Pemuda 1928. Yaitu Indonesia yang setara, berdaulat, bersatu, adil dan sejahtera. Dwitunggal Sukarno-Hatta sebagai proklamator kemerdekaan dan pasangan presiden-wakil presiden pertama memperoleh kepercayaan rakyat sebagai nahkoda jalannya pemerintahan yang di dalamnya masih menyimpan friksi yang tajam di antara pemegang saham (share holder) pendirian negara bangsa.
Sebagai negara baru, pasangan Soekarno-Hatta dihadapkan beragam konflik berkepanjangan, mirip pemerintahan baru AS yang merdeka 4 Juli 1776. Sebagai nation builders, Bung Karno dan Bung Hatta dibuat sibuk menyelesaikan konflik yang muncul antara pemerintah pusat dan
daerah karena perbedaan aspirasi model pemerintahan yang hendak diberlakukan.
Konflik antara kekuatan sipil dan militer. Konflik antara kubu agamis, sekular dan nasionalis. Belum lagi gangguan militer dan politik akibat agressi pihak Inggris dan Belanda yang tidak rela Indonesia merdeka.
"Ada lagi pemberontakan ideologis yang dilakukan PKI dan DI/TII yang menguras energi pemerintah. Beragam konflik ini memuncak pada peristiwa 30 September 1965 yang mengantarkan tampilnya Presiden Suharto," ujarnya.