Penulis:
Sapta Hari Subangkit
Mahasiswa Magister S2 Ilmu Komunikasi
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
SEPERTI pedang bermata dua dan bisa juga seperti buah simalakama dan kotak pandora, merupakan analogi kepesatan teknologi digital, secara spesifik media sosial.
Karena saat ini berita bukan hanya disiarkan oleh Badan Media atau Pers, namun tiap pengguna media sosial ini dapat berbagi informasi kepada khalayak. Ini menyebabkan “Information Overload” dan tidak jarang dari informasi tersebut merupakan berita “Hoax” atau tidak cukup fakta dan tidak valid.
Sayangnya lagi kerap ditelan secara mentah oleh penerima informasi. Ditambah lagi berita tidak faktual tersebut di bagikan kembali oleh Netizen di kanal akun pribadi mereka. Baik itu melalui Tiktok, Instagram Feed, Instagram Story, Group DM Instagram, Group Whatsapp, Group Facebook dan lain sebagainya.
Bayangkan jika dari satu orang memiliki lebih dari ratusan pertemanan virtual dan dari jaringan pertemanan itu membagikan lagi di akun media sosial pribadinya.
Efek dari berita “Hoax” yang dibagikan akan seperti bola salju raksasa dan siap menggilas ketajaman logika yang menerima informasi tidak benar tersebut. Berikut contoh - contoh berita palsu nya.
Melihat sedikit contoh di atas dapat menjadi gambaran betapa bahayanya jika informasi palsu ini disebarluaskan dan lekas dipercaya oleh pengguna media sosial. Sudah pasti akan banyak yang tersesat dan dirugikan. Maka dari itu, patut diketahui oleh khalayak luas bahwa kita perlu mengacu pada salah satu dari tujuh tradisi komunikasi usungan Robert T. Craig (1999), yaitu Tradisi Retorika yang menjelaskan dengan apik bahwa dalam komunikasi dapat mengacu pada pendekatan yang mempelajari penggunaan bahasa dan argumen persuasif dalam komunikasi. Tradisi Retorika fokus pada bagaimana pesan disusun dan disampaikan secara efektif untuk mempengaruhi, meyakinkan atau mempengaruhi audiens.
Jika ditarik pemahaman dari tradisi komunikasi tersebut. Setiap individu dapat memiliki agenda khusus untuk menarik kepercayaan dan memenangkan “transaksi hidup” dalam proses komunikasi dan pemberian informasi yang diberikan kepada komunikan.
Korelasinya dengan hal itu, setiap konten yang disampaikan merupakan proses komunikasi dari sang komunikator atau pemberi informasi pasti mengandung sebuah tujuan untuk mempengaruhi penerima informasi. Contohnya, seperti konten-konten hoax di atas. Lalu contoh lainnya yang kerap tidak disadari oleh publik pengguna media sosial misalnya, para netizen berlomba-lomba menjadi konten kreator, memberikan informasi tentang sesuatu yang tidak kuat bukti dan kebenarannya atau berbagi tips kesehatan namun sebetulnya mereka bukanlah ahli di bidang ilmu tersebut.
Hal yang menjadi prioritas mereka besar kemungkinan untuk mengambil perhatian publik dan dengan hasil meningkatkan engagement rate dan mungkin menarik followers baru ke akun media sosial mereka.
Hasilnya, mereka dapat mengambil keuntungan dengan menjual ke para sponsor untuk beriklan di akun mereka karena tingginya pengikut dan engagement akun media sosial mereka.
Sebetulnya sah saja melakukan hal tersebut namun kalau informasi yang tidak valid ini disebarkan dan dipercaya khalayak bisa menimbulkan hal yang mudharat.
Oleh karena itu, perlu disadari bahwa kita sebagai penerima informasi perlu lebih aware bahwa hal di atas ialah sesuatu yang terjadi jika mengacu pada tradisi komunikasi retorika Robert T. Craig yang sudah dibahas sebelumnya.
Maka dari itu, tiap individu pengguna media sosial wajib memilah dan memilih serta melakukan pengecekan ulang fakta dari setiap konten yang kita terima dalam dunia maya terutama di media sosial.
Jadi, jangan langsung like, comment dan share konten yang diterima di media sosial. Karena kembali lagi menurut tradisi retorika Robert T. Craig, tiap individu terkhusus pengguna media sosial dapat melakukan proses komunikasi yang disusun secara rapi dan menarik agar dapat memenangkan perhatian audiensnya.
Disclaimer : Artikel ini merupakan karya penulis dan tidak mewakili sikap Redaksi Okezone.com
(Feby Novalius)